Sejarah Songkok to BONE (Recca/Pamiring)
Posted: Jumat, 11 Mei 2012 by KESETIAAN AKAN SELALU ADA in Label: Sejarah BoneSebagian orang menyebutnya songkok to Bone. Ada juga yang menyebut songkok pamiring dan sebagian lagi menyebut songkok recca’. Bentuknya bulat dengan bagian atas rata dan berlubang kecil di bagian tengah atas. Umumnya berwarna hitam, coklat, atau krem—di bagian atas—dipadu warna keemasan di bagian tengah ke bawah.
Sebutan songkok bone yang banyak diucapkan orang-orang
luar Bone, Sulawesi Selatan, agaknya terkait dengan sejarah pembuat songkok
itu, yaitu orang-orang Bone, khususnya di Awangpone. Sebutan songkok pamiring
lebih menunjuk ujung atau sisi bagian bawah songkok yang berhias warna
keemasan. Biasanya jika bagian bawah berhias benang emas, sebutannya songkok
pamiring, tetapi bila menggunakan emas sungguhan, disebut songkok pamiring
ulaweng (songkok bersisi emas).
Di Bone sendiri orang-orang lebih menyebutnya songkok
recca’. Sebutan recca’ lebih menunjuk pada proses pembuatannya, yaitu pelepah
lontar dipukul-pukul (recca’) hingga menjadi serat.
Tak jelas sejak kapan dan siapa yang pertama
memopulerkannya di luar Sulawesi Selatan (Sulsel). Yang pasti, songkok tersebut
sudah menyebar ke mana-mana dan dikenakan banyak orang di Nusantara, mulai dari
masyarakat biasa, selebritas, tokoh politik, pejabat negara, bahkan orang
asing. Tak terbilang lagi segala lapisan orang yang mengenakannya di sejumlah
acara di banyak tempat, entah acara formal maupun tak resmi.
Ada yang memadankannya dengan setelan jas, ada pula yang
menggunakannya sebagai pelengkap kemeja atau pakaian lainnya. Singkatnya,
songkok, yang pada mulanya semata-mata hanya digunakan untuk pelengkap busana
adat semata dan hanya dipakai pada acara-acara adat resmi, kini sudah menjadi
pelengkap beragam jenis busana di banyak tempat dan berbagai acara. Di Sulsel
lazimnya songkok itu dipadupadankan dengan pakaian adat yang dikenakan pria
berupa sarung sutra dan jas berkancing depan dengan kerah ala pakaian
tradisional China.
Tamu-tamu asing atau wisatawan yang berkunjung ke Sulsel
umumnya gemar mengenakan songkok recca’ dan membawanya pulang untuk oleh- oleh.
Sebenarnya kalau melihat bahan dasarnya, tidak ada yang
istimewa dari songkok tersebut. Bahan-bahan maupun cara pembuatannya
biasa-biasa saja. Sebut saja pelepah pohon lontar yang dipukul-pukul dan diurai
hingga menjadi serat yang halus. Untuk membuatnya berwarna hitam atau coklat,
digunakan pewarna alami dari beragam buah dan biji-bijian, bahkan lumpur sawah.
Bahan lainnya adalah benang berwarna keemasan dan beberapa helai bulu rambut
kepala kuda yang digunakan sebagai pembatas antara ujung bagian atas tengah
songkok dan bagian lainnya.
Yang membuatnya istimewa adalah bila songkok ini berada
di kepala orang-orang atau tokoh penting, terkenal, dan semacamnya. Menjadi
lebih istimewa lagi jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu
diganti dengan emas sungguhan. Terlebih jika susunan emas yang sebelumnya
dilebur dan dibuat menyerupai benang itu cukup tinggi dan hampir menutupi
seluruh sisi songkok.
Tak jelas sejak kapan emas digunakan sebagai salah satu
bagian penting dari songkok recca’. Yang jelas, saat ini penggunaan emas hampir
mendominasi pembuatan songkok recca’, terutama yang digunakan kalangan pejabat,
orang-orang penting, dan kalangan berpunya. Hampir serupa kasta, emas bahkan
menjadi parameter derajat dan kekayaan pemakai songkok ini.
"Umumnya yang saya buatkan songkok dengan pinggiran
emas adalah songkok milik petinggi atau orang penting seperti gubernur, turunan
bangsawan, bupati, orang-orang kaya, dan seperti itu. Saya juga banyak membuat
songkok yang akan dihadiahkan kepada pejabat-pejabat negara atau menteri,
bahkan tamu asing yang berkunjung ke Sulsel," kata Rahman, pembuat songkok
recca’ di Desa Paccing, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, beberapa waktu
lalu.
Di Bone, Rahman adalah satu dari tiga ahli pembuat
songkok yang menggunakan emas sebagai bahan penghias songkok. Dua lainnya
adalah Aming dan Nabisa. Di Bone, terutama di Kecamatan Awangpone, banyak yang
pandai membuat songkok recca’. Namun, yang membuat songkok dari emas tak banyak
jumlahnya. Karena hanya sedikit, ketiga perajin itu hampir tahu siapa-siapa
saja orang penting yang pernah mereka buatkan songkok.
"Dari pejabat-pejabat, menteri, Wakil Presiden era
kepemimpinan Megawati, ketua-ketua partai, anggota DPR, sampai sejumlah
pengusaha kaya, baik yang di Jakarta maupun daerah lain. Tidak terhitung lagi
pejabat-pejabat lokal," kata Rahman.
Dari pengalamannya membuat songkok, Rahman pernah membuat
songkok yang emasnya mulai dari 15 gram hingga yang totalnya 100 gram. Songkok
yang emasnya mencapai 100 gram dijual dengan harga Rp 20 juta. Selain kadar
emas, harga songkok itu juga dipengaruhi proses pembuatannya yang agak rumit
dan memakan waktu 15 hari hingga hampir satu bulan. Pembuatan itu terhitung
sejak batang lontar dimemarkan.
Songkok tanpa emas harganya beragam, Rp 30.000-Rp 70.000.
Harga songkok non-emas dipengaruhi oleh kehalusan serat lontar dan kerapian
songkok.
Di Bone, pembuatan songkok sejak awal hingga penyelesaian
akhir dilakukan di tempat yang berbeda-beda kendati semuanya masih satu
kecamatan, di Awangpone. Kecuali penyelesaian akhir—yang meliputi pembentukan
songkok sesuai dengan ukuran kepala dan penambahan benang emas atau emas
sungguhan yang dilakukan perajin di Desa Paccing—proses awal dilakukan di
sejumlah desa lain.
Proses awal itu antara lain memukul-mukul pelepah lontar
menjadi serat halus, pewarnaan, sampai menganyam serat lontar menjadi songkok.
Selanjutnya, meneruskan anyaman dan membuat bentuk hingga memberi tambahan
benang emas maupun emas.
Tentang penggunaan emas pada songkok recca’, A Mappasissi
Petta Awangpone, salah satu keturunan bangsawan Bone yang saat ini menjadi
Pemangku Adat Bone, mengatakan, pada awalnya penggunaan emas itu tak dikenal.
Bahkan model yang sekarang ini dikenal banyak orang sudah merupakan pergeseran
dari model awal yang dikenakan raja-raja Bone.
"Kalau
dulu, modelnya bulat, tak terlalu tinggi, dan bagian atasnya agak runcing,
persis seperti model topi orang Tionghoa. Pinggirannya pun bukan emas
sungguhan, tapi kain berwarna emas. Entah sejak kapan songkok ini berubah
bentuk dan menggunakan emas. Tapi memang sejak dimulainya penggunaan emas pada
songkok, raja, para pembesar, atau bangsawan umumnya menggunakan songkok yang
dibuat dari emas," katanya.
Mappasissi
menambahkan, dulu songkok berhias emas sungguhan hanya digunakan oleh raja,
pembesar, dan keluarga bangsawan. Rakyat biasa enggan
menggunakannya sekalipun punya uang untuk membuat songkok berbalut emas.
Kalaupun ada orang kaya yang bukan keluarga raja atau bangsawan yang
menggunakan songkok berbalut emas, kadar emasnya tak boleh melebihi kadar emas
songkok yang dikenakan raja. Dengan kata lain, susunan anyaman emas di bagian
sekeliling songkok tak boleh lebih tinggi daripada yang dimiliki raja.
"Tapi sekarang karena zamannya sudah beda, siapa pun, asal suka dan mau,
boleh membuat dan mengenakan songkok dari emas," kata Mappasissi.
Agaknya, karena alasan itu pula songkok recca’ kini bukan
lagi menjadi milik orang Sulsel, tetapi menjadi milik siapa pun yang suka
mengenakannya. Bahkan songkok recca’ tak lagi dibuat di Bone saja, tetapi juga
sudah dibuat perajin di sejumlah kabupaten lain di Sulsel. Hal ini pula yang
mungkin membuat songkok recca’ sudah melanglang buana dari Bone, keliling
Indonesia, bahkan dunia.
Kini tak
perlu berdarah bangsawan untuk bisa memakai salah satu warisan budaya
masyarakat Bugis Bone ini. Dulu, songkok To Bone dipakai oleh raja-raja Bone
beserta keluarganya. Penutup kepala ini juga menjadi bagian dari setelan
pakaian adat pria Bugis Bone, Sulawesi Selatan. Khusus para raja dan bangsawan,
digunakan hiasan dari benang tenun emas. Makin tebal lapisan emasnya, makin
tinggi derajat si pemakai.
Kini, untuk memakai songkok Bone serupa, tak perlu menjadi raja atau bangsawan lebih dulu. Siapa pun boleh, asalkan bersedia membayar lebih mahal untuk satu songkok berlapis emas murni itu. Apalagi di tengah harga emas yang sedang melonjak seperti sekarang. "Semakin tebal hasil tenunan benang emasnya, harga songkok semakin mahal," kata Rahmatang, seorang perajin songkok di Jalan Urip Sumoharjo Kilometer 4 Poros Bone-Wajo. Di kawasan yang terletak sekitar 180 kilometer dari Makassar itu terdapat empat toko songkok To Bone.
Di toko Rahmatang H. Nawir misalnya. Etalasenya memajang songkok dengan aneka motif, mulai dari benang emas, hiasan emas murni, sampai benang biasa. Warna songkok pun beragam, dari hitam, cokelat, sampai krem. "Songkok berlapis emas biasanya dipesan pejabat, "ujar Rahmatang.
Pria
berusia 30 tahun ini menyebut beberapa nama pejabat yang pernah memesan songkok
padanya. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah dibuatkan songkok berhias
tenunan emas murni tiga ringgit (gram). Orang Bone biasa menyebut ringgit
sebagai pengganti satuan gram. Mantan Gubernur Sulawesi Selatan Amin Syam juga
pernah memesan songkok dengan tenunan emas dua ringgit. Begitu juga Bupati
Gowa, Bupati Bone, dan Bupati Sinjai. Berapa harga songkok itu?
Mari kita berhitung. Setiap satu ringgit emas, yang ketebalannya mencapai 1,5 sentimeter, dibanderol Rahmatang dengan harga Rp 15 juta. Jadi harga songkok dengan dua ringgit emas setara dengan ongkos naik haji sekarang ini.
Selain menyediakan songkok To Bone, toko Rahmatang juga menjual songkok haji, atau songkok miniatur untuk suvenir, dengan harga Rp 7.000 per buah. Saat Tempo berkunjung ke toko itu dua pekan lalu, seorang pembeli, Andi Anti, sedang memesan 500 buah miniatur songkok. "Ini untuk suvenir perkawinan adik saya," kata wanita berusia 31 tahun itu.
Selain itu, Anti memesan satu lusin songkok berharga Rp 250 ribu per buah. Menurut Anti, songkok To Bone adalah simbol adat. "Memakainya berarti turut melestarikan budaya Bugis Bone," ujarnya.
Pembeli lainnya, Andi Rahman Petta Wowu Opu Sappewali, mengambil dua buah songkok seharga Rp 150 ribu per buah. "Ini akan saya pakai pada acara hari jadi Kota Luwu," ujar Rahman.
Di sebelah toko Rahmatang, ada toko Andi Irma yang menjual songkok dengan harga dari Rp 25 ribu, Rp 50 ribu, hingga Rp 150 ribu. Khusus songkok berhiaskan benang emas dibanderol dengan harga Rp 500 ribu per buah.
Kawasan Poros Bone-Wajo juga dikenal sebagai kawasan perajin songkok. Ada sekitar 100 perajin songkok di sana. Para perajin bermitra dengan pedagang untuk mendapat pesanan. Rahmatang, misalnya, bermitra dengan 50 perajin.
Dari kawasan ini, songkok Bone dipasarkan ke Somba Opu, pusat belanja emas, suvenir, dan oleh-oleh di Makassar, Sengkang, bahkan sampai ke luar Makassar, seperti Jakarta, Kalimantan, Bali, dan Kendari. Anda siap untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi bangsawan Bone.
Para perajin songkok di Poros Bone-Wajo kebanyakan para gadis dan ibu-ibu. Mereka membuat songkok di waktu senggang atau sore hari. Sore dua pekan lalu, saat Tempo berkunjung ke sana, tampak Kasmawati, 26 tahun, Suriani, 36 tahun, dan beberapa gadis sedang menganyam songkok di balai-balai samping rumah Kasmawati.
Selain menganyam, mereka mengolah bahan baku. Serat pelepah pohon lontara, yang menjadi bahan baku utama songkok itu, mereka tumbuk. Lalu seratnya dipisahkan. Serat kasar berwarna hitam dipakai untuk bahan dasar anyaman, sedangkan serat halus berwarna krem dijadikan benang.
Sebelumnya, songkok dibuat satu warna, yakni hitam. Setelah 1990, warna songkok ada yang krem dan cokelat. Warna cokelat diambil dari pewarna alami, yakni campuran kulit batang jambu mete yang menghasilkan warna merah kecokelatan dan kayu seppang yang menghasilkan warna merah muda. Sedangkan songkok warna krem memakai serat halus yang berwarna krem.
Dalam sebulan, para perajin ini mampu memproduksi songkok hingga 500 buah. Puncak pemesanan songkok, menurut Kasmawati, biasa terjadi saat menyambut hari jadi Kabupaten Bone, Gowa, dan Sinjai, atau menjelang peringatan 17 Agustus.
Para perajin berupaya melestarikan kerajinan songkok dengan melakukan penanam kembali pohon lontara. "Sebab, kerajinan ini memang bergantung pada pohon lontara," ujar Kasmawati. (irmawati)
Mari kita berhitung. Setiap satu ringgit emas, yang ketebalannya mencapai 1,5 sentimeter, dibanderol Rahmatang dengan harga Rp 15 juta. Jadi harga songkok dengan dua ringgit emas setara dengan ongkos naik haji sekarang ini.
Selain menyediakan songkok To Bone, toko Rahmatang juga menjual songkok haji, atau songkok miniatur untuk suvenir, dengan harga Rp 7.000 per buah. Saat Tempo berkunjung ke toko itu dua pekan lalu, seorang pembeli, Andi Anti, sedang memesan 500 buah miniatur songkok. "Ini untuk suvenir perkawinan adik saya," kata wanita berusia 31 tahun itu.
Selain itu, Anti memesan satu lusin songkok berharga Rp 250 ribu per buah. Menurut Anti, songkok To Bone adalah simbol adat. "Memakainya berarti turut melestarikan budaya Bugis Bone," ujarnya.
Pembeli lainnya, Andi Rahman Petta Wowu Opu Sappewali, mengambil dua buah songkok seharga Rp 150 ribu per buah. "Ini akan saya pakai pada acara hari jadi Kota Luwu," ujar Rahman.
Di sebelah toko Rahmatang, ada toko Andi Irma yang menjual songkok dengan harga dari Rp 25 ribu, Rp 50 ribu, hingga Rp 150 ribu. Khusus songkok berhiaskan benang emas dibanderol dengan harga Rp 500 ribu per buah.
Kawasan Poros Bone-Wajo juga dikenal sebagai kawasan perajin songkok. Ada sekitar 100 perajin songkok di sana. Para perajin bermitra dengan pedagang untuk mendapat pesanan. Rahmatang, misalnya, bermitra dengan 50 perajin.
Dari kawasan ini, songkok Bone dipasarkan ke Somba Opu, pusat belanja emas, suvenir, dan oleh-oleh di Makassar, Sengkang, bahkan sampai ke luar Makassar, seperti Jakarta, Kalimantan, Bali, dan Kendari. Anda siap untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi bangsawan Bone.
Para perajin songkok di Poros Bone-Wajo kebanyakan para gadis dan ibu-ibu. Mereka membuat songkok di waktu senggang atau sore hari. Sore dua pekan lalu, saat Tempo berkunjung ke sana, tampak Kasmawati, 26 tahun, Suriani, 36 tahun, dan beberapa gadis sedang menganyam songkok di balai-balai samping rumah Kasmawati.
Selain menganyam, mereka mengolah bahan baku. Serat pelepah pohon lontara, yang menjadi bahan baku utama songkok itu, mereka tumbuk. Lalu seratnya dipisahkan. Serat kasar berwarna hitam dipakai untuk bahan dasar anyaman, sedangkan serat halus berwarna krem dijadikan benang.
Sebelumnya, songkok dibuat satu warna, yakni hitam. Setelah 1990, warna songkok ada yang krem dan cokelat. Warna cokelat diambil dari pewarna alami, yakni campuran kulit batang jambu mete yang menghasilkan warna merah kecokelatan dan kayu seppang yang menghasilkan warna merah muda. Sedangkan songkok warna krem memakai serat halus yang berwarna krem.
Dalam sebulan, para perajin ini mampu memproduksi songkok hingga 500 buah. Puncak pemesanan songkok, menurut Kasmawati, biasa terjadi saat menyambut hari jadi Kabupaten Bone, Gowa, dan Sinjai, atau menjelang peringatan 17 Agustus.
Para perajin berupaya melestarikan kerajinan songkok dengan melakukan penanam kembali pohon lontara. "Sebab, kerajinan ini memang bergantung pada pohon lontara," ujar Kasmawati. (irmawati)
Maaf mau bertanya, 1. sejak kapan dipopulerkan songkok recca??? 2. Apa yang membedakan benang pada saat kerajaan dan benang sekarang yang digunakan pengrajin? 3. Apakah songkok recca masuk dalam kategori kearifan lokal?? Jelaskan.