Sejarah Kabupaten Wajo
Posted: Selasa, 19 Juni 2012 by KESETIAAN AKAN SELALU ADA in Label: Sejarah Kabupaten Wajo
0
Kabupaten
Wajo, terletak dibagian timur dan tengah Sulawesi Selatan dimana
Sengkang ibukotanya terbaring dipesisir danau tempe, dengan jarak
kurang lebih 250 km dari ujung pandang. Kabupaten Wajo terbagi
dalamwilayah administrativie yang terdiri atas 10 wilayah kecamatan,
79 desa/kelurahan, 206 dusun atau lingkungan, dengan luas
keseluruhan wilayah adalah 2.506, 19 Km2.
Kalau
dimasa lalu Wajo adalah sebuah kerajaan, maka sekarang sudah menjadi
daerah tingkat II/ kabupaten, sebagai realisasi undang-undang nomor
4 tahun 1957, dimana wajo berubah dari pemerintahan swpraja menjadi
daerah otonomi Tingkat II. Sejak itulah wajo resmi sebagai kabupaten
Daerah tingkat II, dan Andi Tanjong dipercayakan sebagai bupati Wajo
yang pertama, dan kemajuan yang dicapai wajo sekarang ini adalah
warisan kerajaan Wajo masa lalu.
Keadaan
wajo pada masanya merupakan sebuah Negara maju yang mempunyai
tradisi politik dan percaturan kekuasaan yang berbeda-beda dengan
kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya, dalam hal terbentuknya
suatu pemerintahan. Bayangkan saja bila di abad pertengahan
pemerintahannya,wajo sudah menganut azas demokrasi, sementara
kerajaan-kerajaan lain seluruh dunia masih diperintah oleh raja yang
pengangkatannya secara turun temurun atau perebutan kekuasaan dengan
kekerasan, Susunan pemerintahan kerajaan Wajo mempunyai dewan adat
yang beranggotakan 40 orang sehingga dinamakan “Arung Patapuloe”.
Dewan ini mirip dedngan kekuasaan parlemen, dan dalam perjanjian
pemerintahan (raja) dan rakyatnya, terperinci hak-hak azasi
didalamnnya.
Di
antara negeri-negeri yang mempunyai corak pemerintahan yang agak
lain daripada negeri-negeri yang ada di Sulawesi Selatan yang pada
umumnya berrbentuk “Monarchie”, maka Wajo merupakan salah satu
negeri yang berbentuk “Republik”.
Jauh
sebelumnya yaitu tatkala kerajaan-kerajaan Luwu, Bone, dan Gowa
telah berdiri, maka terdapatlah suatu tempat di bahagian Wajo
sekarang ini yang bernama Cinnottabik. Tempat ini pada mulanya
menjadi daerah perselisihan antara kerajaan besar karena
masing-masing mengakui, bahwa daerah (tempat) itu kepunyaannya. Oleh
sebab itu, maka ketiganya pun bersepakatlah membiarkan daerah ini
dalam keadaan tidak punya raja dan diperguanakan sebagai tempat
persinggahan melepaskan lelah bila pergi berburu atau sewaktu pergi
makan-makan dipinggir Tempe. Jadi, daerah ini tiada terikat oleh
salah satu kerajaan yang ada.
Tersebutlah
peristiwa sewaktu puteri raja Luwuk yang bernama “we Tadmpali”
karena penyakit kusta, sehingga perlu dasingkan atau dikeluarkan
dari negeri Luwuk karena ditakuti kalau-kalau penyakitnya itu
menjangkit, hendak dibunuh, tidak boleh, berpantang sekali negeri
menumpahkan darahnya karena “We Tadampali” itu adalah puteri
mahkota dari kerajaan Luwuk. Oleh sebab itu dibuatlah rakit yang
besar, lalu tuan puteri yang berpenyakit itu dihanyutkan bersama
pengiring-pengiring-pengirngnya, laki-laki dan perempuan yang setia
kepadanya beserta dengan perbekalan yang lengkap.
Setelah
beberapa hari lamanya berhanyut-hanyut di laut, maka terdamparlah
rakit tuan puteri Luwuk itu di sungai dari daerah merdeka itu tadi,
lalu rakit itu menyusur sungai ke hulunya sampai tiada dapat udik
lagi. Pengiring-pengiring tuan puteri itu pun masing-masing naik ke
darat unutk mencari tempat yang baik untuk membangun perumahan.
Didapatinya suatu tempat yang baik danlagi subur tanahnya, lalu
dibangun sebuah istana untuk tuan puteri dengan sebuah pohon kayu
yang besar dan rindang daunnya yang dinamai orang bugis ; Wajo
(Makassar : Banyorok). Dari sinilah asal mula namnya :Wajo.
Di
sekeliling istana itu berdiri rumah-rymah kecil tempat segala
pengiring tuan puteri. Dan lama-kelamaan tempat itupun menjadi
sebuah negeri.
Pada
suatu hari, seketika segala pengiringnya masing-masing ke sawah dan
ke ladang akan memungut hasil tanamannya maka tinggallah tuan puteri
itu seorang diri menjaga. Padi yang dijemur di muka istananya.
Tiba-tiba datanglah seekor kerbau putih (balar) hendak memakan padi
itu. Tuan puteri pun turunlah ke tanah hendak mengusir kerbau putih
itu. Tetapi jangankan kerbau itu lari meninggalkan tempat itu,
bahkan tuan puteri sendiri dikejarnya hingga jatuh ke tanah. Oleh
kerbau putih itu lalu dijilatinya seluruh tubuh tuan puteri kemudian
masuk berjalan ke tangah hutan. Setelah kerbau itu sudah jauh,
barulah tuan puteri bangun dan dilihatnya bahwa seluruh tubuhnya
telah berlumur dengan air liur dan ingus kerbau itu. Dirasanya
badannya sangat letih lalu pergi berbaring-baring dan terus
tertidur. Sewaktu sudah bangun, dirasanya badannya bertambah segar
dan dilihatnya penyakitnya agak berkurang.
Keesokan
harinya kerbau putih itu dating lagi ditempat itu dan sewaktu tuan
puteri datang menemui kerbau putih itu dijilatinya tubuh tuan
putrid. Demikianlah yang dilakukan tuan puteri setiap hari sehingga
penyakitnya hilang sama sekali, kulitnya bertambah halus dan
parasnya semakin bertambah elok. Begitulah konon asal mulanya,
sehingga orang bugis tidak suka makan daging kerbau putih, pertama
oleh orang-orang bangsawannya.
Tiada
berapa lama kemudian dari pada itu maka tersebutlah ceritera putra
raja Bone yang bernama La Raja Langi pergi berburu rusa di sekitar
tempat itu serta diringi oleh beberapa orang anak-anak bangsawan
yang membawa orang-orangnya (juak-juaknya) masing-masing. Dari
hingga petang jangankan bertemu dengan seekor rusa lalat lango pun
tiada melintas. La Raja Langi pun malu pulang ke negerinya dengan
tiada pulang membawa oleh-oleh dari perburuannya itu. Oleh sebab itu
maka tinggallah dalam hutan itu sampai beberapa hari lamanya
berburu, tetapi tiada juga mendapat rusa sampai bekalnya habis.
Orang-orangnya pun dikerahkan mencari makanan.
Ada
yang pergi ke utara menyeberangi sungai Walennae (sekarang bernama
cenranae), ada yang pergi ke selatan , ke timur dank ke barat.
Orang-orang yang menyeberangi sungai itulah yang mendapati kampung
tuan putrid “We Tadampali” dan dari tuan putrid itulah mereka
mendapat makanan. Sebagai tanda penghargaan dan penghormatan atas
pertolongan yang didapatnya, maka La Raja Langi sendiri bersama
dengan pengiring-pengiringnya pergi ke tempat itu akan mengucapkan
terima kasih. Setelah dilihatnya wajah tuan putrid We Tadampali,
maka berjenanlah dalam hatinya hendak menjadikan putrid Luwuk itu
sebagai permaisuri. Oleh sebab sewaktu La Raja Langi pulang ke bone
maka diceritakanlah segala peristiwa itu kepada baginda raja Bone
serta permaisuri. Dikirimkanlah utusan meminang putrid We Tadampali
dan dari perkawinan ini lahirlah tiga orang putranya Luak Juak yang
banyak pun membahagiakan dirinya yang merupakan perkampungan yang
kemudian dibentuklah tiga buah limpo (distrik) yang pertama ialah
limpo orang-orang yang tinggal di tanah tinggi yaitu di hutan,
pekerjaannya membuat tiang rumah maka dinamai Limpo Bettempola’.
Yang ke dua ialah limpo yang tinggal di pinggir danau yang
pekerjaannya menangkap ikan yang mempergunakan tuba (bugis:tua).
Maka dinamailah Limpo Ri Tua. Sedangkan limpo yang ketiga
ialah limpo yang tinggal dekat pohon-pohon enau, pekerjaannya
mengambil nira dengan menggunakan “jenjang” (tenreng dalam
bahasa buginya: limpo ri tau tenreng).
Tiap-tiap
limpo dikepalai oleh seorang matoa yang dipilih diantara penduduk
“limpo” itu.
Ke
tiga orang putra turunan putrid Luwuk dan Bone itu setelah besar
pergilah mereka mengepalai tiap-tiap limpo itu dengan gelar Petta,
dan menjalankan pemerintahannya seperti seorang raja yaitu:
1.
Petta Ribett’empola
2.
Petta Ri Tua
3.
Petta Ri talok tenreng
Ketiga
pettta ini mempersatukan dirinya dan diberi nama tellu siranreng
(tali kembar tiga) dan masing-masing bergelarlah petta renreng yaitu
:
1.
Petta Ranreng Ri betta’empola
2.
Petta Ranreng Ri Tua
3.
Petta Ranreng Ri talok tenreng
Ketiganya
mengambil masing-msing seorang wakil yang memegang bendera yaitu :
1.
Untuk bett’empola diambil wakil yang
bergelar Petta Pilla
yang memegang bendera merah
2.
Unutk tua diambil wakil yang bergelar
Petta Cukkuridi,
memegang bendera kuning
3.
Untuk talok tenreng diambil wakil yang
bergelar Petta Patolla,
memegang bendera serba warna
Ketiga wakil
ini meruapakan “bate lopo” (hadat besar). Ketiga renreng yang
menjalankan pemerintahan sebagai raja dengan wakil yang merupakan
hadat besar inilah yang memerintah tanah Wajo dan diberi gelar Petta
Ennennge (enam tuanku) biasa juga disebut “Arung Ennennge” (Raja
Enam).
Pada
waktu menimbang sesuatu urusan (perkara), maka acap kali terdapat
pemungutan suara yang sama banyak. Oleh sebab itu, maka petta
Bettempola yang dipilh sebagai “To matoa” (orang yang dituakan)
didalam siding, yang bertindak sebagai kaka yang mempunayai
kelebihan suara.
Oleh
petta ennennge “dijadikan pula tiap-tiap limpo itu menjadi sepuluh
bagian lilik, yang masing-masing lilik itu dikepalai oleh seorang
“matoa” dan dari sepuluh itu memilih pula seorang matoa besar
(“Suro”). Jadi, ada tiga orang suro sebagai wakil rakyat dari ke
tiga puluh matoa itu yaitu matoa Majauleng dari Bettampola matoa
Sakbangtaro dari talok tenreng dan Matoa Takkalalla dari tua.
Sebagai kepala dari petta ennennge, maka petta be To Taba hendak
diangkat sebagai arung matoa, tetapi tidak mau. Oleh sebab itu,
akhirnya La Tenri Babareng, 1) saudara arung mampu Riaja diangkat
menjadi arung matoa dari tanah Wajo.
Ketika
mula diangkat menjadi arung matoa, maka La Tenri Babareng berjanji
akan melaksankan tugas-tugasnya yang telah dipikulkan kepadanya
yaitu :
a.
Berjanji akan memberikan kemerdekaan
kepada orang-orang Wajo.
b.
Tidak boleh bertindak sewenang-wenang
c.
Setiap saat harus menerima (mendengar)
setiap keluhan rakyatnya
d.
Kalau ada orang yang bersalah, maka orang
itu sendiri yang harus dihukum.
e.
Pangkat arung Matoa, dan suro tidak boleh
dipusakai turunannya. Pangkat arung Matoa itu boleh dipilih orang
dari kerajaan lain dan tidak ditentukan namanya. Petta ennennge pada
setiap saat berhak memecat arung matoa tersebut apabila tidak
menepati janjinya atau tidak berkelakuan baik
f.
Barang siapa yang telah dipilh unutk
pangkat arung matoa itu tidak boleh menolak karena kalau menolak
maka ia harus dikeluarkan dari daerah wajo.
Dengan
adanya peraturan itu maka tanah wajo digelar tanah maradeka (tanah
republik) yang berbeda keadaannya dengan apa yang dianami tanah
regellek (tanah Kerajaan) seperti : Luwuk, Gowa, Soppeng, dan
lain-lainnya. Sehingga adat istiadatnya pun agak berbeda dengan yang
lainnya seperti:
a.
Tentang perkawinan, diluaskan seorang
wanita bangsawan dikawini oleh seseorang yang derajatnya lebih
rendah asal saja pria itu membayar mas kawin yang sepadan dengan
tingkat derajat bangsawan wanita itu, dan harus pula membayar :
“panngelli dara” (pembeli darah) terutama bagi pria sederajatnya
jauh sekali dibawah derajat wanita bangsawan itu tentu saja wanita
yang dikawini dengan pria yang lebih rendah derajatnya itu jatuh
kemuliannya (membuang rilumpualang alek birenna) karena:
a)
Masalah tungi parukkusenna (salah turun
jodohnya)
b)
Cukuki manrei ri arena (dia menunduk
makan yang bukan makanannya)
c)
Nasoppaki tekenna (dia tusuk oleh
tongkatnya)
b.
Tentang pembangunan rumah, orang biasa
saja membuat rumah yang besar menurut kehendak hatinya asal “timpak
lajak”nya (Makassar: sambulayang) tidak lebih dari satu susun
c.
Tentang pakaian, boleh memakai pakaian
yang sama dengan yang dipakai raja, terkecuali yang menunjukkan
pangkat-pangkat yang turu temurun dipakai oleh turunan raja atau
orang-orang bangsawan sebagai pusaka. Umpamanya: orang kaya bisa
memakai karawik, sebesar yang disukainya.
Setelah
la Tenri Bappareng diangkat menjadi arung Matoa ia tidak suka akan
gelar itu maka digelari dirinya batara Wajo. Berapa lamanya ia
menjadi batara wajo tiada diketahui hanya yang dapat diberitakan
disini bahwa batara Wajo itu dibunuh oleh 0rang-orang wajo karena
tiada menuruti janjinya dan melepaskan ke tiga renreng itu. Oleh
sebab itu mulailah merekea membunuh batar Wajo dengan membawa ke
sawah dan ditikam oleh To Taba. Menurut pustaka Wajo tempat Batara
Wajo itu dibunuh (ditikam) sampai sekarang dinamai “La bessi”.
Sesudah
batara Wajo mati, maka Petta Rengreng kembali memegang jabatannya,
lalu megangkat pula Arung Matoa. Mula-mula dipilh To Taba, tetapi ia
tidak mau, sehingga ia meninggalkan tanah Wajo. Kemudian To Taba
dipanggil kembali dan bersama-sama dengan yang lainnya, maka
dimufakatilah memilih La Palle’wo Topallpuk menjadi kepala Negara
sebagai arung matoa I dari tanah Wajo pada abad ke 15.