Raja-raja kerajaan Bone

Posted: Senin, 25 Juni 2012 by KESETIAAN AKAN SELALU ADA in Label:
0

Kali ini saya akan memposting tentang silsilah raja-raja bone, tentu kita belum terlalu tahu siapa-siapa mereka. Nah berikut saya akan memaparkan tentang beliau.
^selamat Membaca^


Akkarungeng
Akkarungeng bisa disepadankan dengan pararaton di Jawa Timur (Kitab Raja-raja, yang memuat kisah raja-raja zaman kerajaan Singasari dan Majapahit). Akkarungeng adalah sebuah kitab yang memuat peristiwa suksesi di Kerajaan Bone; diawali oleh pengangkatan raja/mangkau’ oleh kelompok-kelompok masyarakat (anang), masa keemasan dan masa kemunduran sampai akhirnya berintegrasi dengan Republik Indonesia.
Hampir tidak ada bukti fisik yang dapat ditelusuri untuk mencari tahu sejarah awal Kerajaan Bone selain tulisan-tulisan kuno yang terdapat dalam lontara’. Hanya sedikit informasi dari lontara’ sebagai sebuah fakta, bahkan mengenai asal-usul Manurung-E disinyalir sebagai mitos, berupa dongeng yang bersumber dari “sure La Galigo” dan budaya tutur masyarakat Bone. Namun, setelah era Manurung-E, kesadaran akan sejarah agaknya mulai mendapat perlakuan khusus yang ditandai dengan keinginan pihak kerajaan maupun masyarakat luas melakukan penulisan silsilah dan keturunan raja-raja yang sudah ditulis dengan cermat dalam lontara’ sehingga kesahihannya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai cross check untuk menentukan tahun berdiri kerajaan Bone, peristiwa-peristiwa alam yang tertulis dalam pararaton atau prasasti di bekas reruntuhan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, sinkron dengan peristiwa-peristiwa alam yang tertulis dalam lontara’. Hal ini sedikit banyaknya memberikan andil untuk membuat sejumlah asumsi untuk mengungkap masa awal kerajaan Bone.
Bahan baku pada Akkarungeng ini diambil dari karya Drs. A. Amir Sessu, Mantan Kasi Kebudayaan Kandepdikbud Kabupaten Bone yang disadur dari Lontara’ Akkarungeng ri Bone yang selanjutnya ditulis ulang oleh Asmat Riyadi, pendidik dan budayawan di Bone. Namun oleh pengelolah blog ini disajikan dalam format yang berjenjang untuk mengklasifikasi awal pemerintahan, perubahan-perubahan kebijakan, silsilah dan keterangan-keterangan lain. Jikapun ada tambahan akan diusahakan memberi referensi jika pembaca berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Silsilah Raja Bone
1. ManurungE Ri Matayang ( Raja Bone I ) 1326 - 1358
2. La Ummasa Petta Penre Bessi'E ( Raja Bone II ) 1358 - 1424
3. La Saliyu' Kelamperuwi' ( Raja Bone III ) 1424 - 1496
4. Benrigau Makkaleppi'E ( Raja Bone IV ) 1496 - 1516
5. La Tenri Sukki ( Raja Bone V ) 1516 - 1543
6. La Uliyyu Bore'E ( Raja Bone VI ) 1543 - 1569
7. La Tenri Rawe ( Raja Bone VII ) 1568 - 1584
8. La Inca' Matinro'E ri Adenenna ( Raja Bone VIII ) 1584 - 1595
9. La Pattawe Matinro'E ri Bettung ( Raja Bone IX ) 1595 - 1602
10. I Teni Tuppu Maddussila ( Raja Bone X ) 1602 - 1611
11. La Tenri Ruwa Sultan Adam ( Raja Bone XI ) 1611 hanya 3 bulan
12. La Tenri Pale - To Akkapeng ( Raja Bone XII ) 1611 - 1625
13. La Madarremmeng Sultan M Saleh ( Raja Bone XIII ) 1625 - 1640
14. La Tenor Aji To Snrima ( Raja Bone XIV ) 1640 - 1643 *)
15. La Tend Tatta  Arung Palakka ( Raja Bone XV ) 1667 - 1696
16. La Putau' Matanna Tikka ( Raja Bone XVI ) 1696 - 1714
17. Batari Toja Dattalaga ( Raja Bone XVII ) 1714 - 1715
18. La Padassajati ( Raja Bone XVIII ) 1715 - 1718
19. La Pareppa/La Pareppung Sultan Ismail ( Raja Bone XIX ) 1718 - 1721
20. La Panaongi To Pawawoi ( Raja Bone XX ) 1721 - 1724
21. Batari Toja Dattalaga ( Raja Bone XXI ) 1724 - 1749
22. La Temassonge ( Raja Bone XXII ) 1749 - 1775
23. La Tenri Teppu ( Raja Bone XXIII ) 1775 - 1812
24. Teppatunru ( Raja Bone XXIV ) 1812 - 1823
25. I Mani Arang Data ( Raja Bone XXV ) 1823 - 1825
26. La Mappaseling ( Raja Bone XXVI ) 1835 - 1845
27. La Parenrengi ( Raja Bone XXVII ) 1845 - 1857
28. Pancai' Tana Besse Kajuara ( Raja Bone XXVIII ) 1857 - 1860
29. Singkeru Rukka' ( Raja Bone XXIX ) 1860 - 1871
30. Ftimah Banri ( Raja Bone XXX ) 1871 - 1895
31. La Pawawoi Karaeng Segeri ( Raja Bone XXXI ) 1895 - 1905
32. La Mappayuki Sultan Ibrahim ( Raja Bone XXXII ) 1931 - 1946**
33. La Pabenteng ( Raja Bone XXXIII ) 1946 - 1951 ***)

*) Perang dengan Gowa, Raja tertawan dan pemerintahan sementara kosong
**) Tertawan karena kalah lawan Kompeni Belanda; pemerintahan kosong
***) Raja terakhir karena mempersatukan diri dengan RI jadi Propinsi

RAJA BONE 1
Manurung-E ri Matajang, Mata SilompoE (1326–1358)
Selama tujuh pariama (diperkirakan kurang-lebih 70 tahun) yang disebut sebagai Bone pada awalnya hanya meliputi tujuh unit anang (kampung) yakni; Ujung, Ponceng, Ta’, Tibojong, Tanete Riattang, Tanete Riawang dan Macege, tenggelam dalam situasi konflik yang berkepanjangan. Kondisi ini dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah sianre bale, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Luas Bone pada masa itu terbilang lebih kecil dari Ibukota Kabupaten Bone, Watampone sekarang.
Masing-masing anang dipimpin oleh seorang Kalula, gelar pemimpin kelompok. Situasi politik ini merupakan akibat langsung dari kondisi tidak adanya (lagi) tokoh yang mereka anggap sebagai pemimpin besar yang dapat mempersatujuan visi dan misi ke tujuh anang tersebut. Menurut lontara’, hal ini secara implisit dijelaskan dalam Sure’ La Galigo, lebih disebabkan oleh punahnya (sudah tidak terdeteksinya) keturunan-keturunan La Galigo di Bone. Ketujuh pemimpin (kalula) kelompok masyarakat (anang) saling mengklaim “hak” atas kepemimpinan wilayah Bone tersebut. Ada juga budayawan yang menyebut Kalalu Anang Cina, Barebbo, Awampone dan Palakka sudah turut dalam perjanjian ManurungE dengan orang Bone, namun karena kurangnya data/lontara’ yang mendukung, penulis menafikan pernyataan tersebut.
Konflik antar kalula berlangsung selama bertahun-tahun. Masing-masing mengkalim sebagai keturunan La Galigo yang, karena keterbatasannya tidak mampu menunjukkan bukti-bukti (mereka belum mengenal silsilah), merasa berhak atas kepemimpinan dikalangan kalula. Semangat kejahiliyahan membara untuk saling atas-mengatasi sehingga perang saudara (kelompok) tidak bisa dihindari.
.:Catatan:. ada yang menafsir satu pariama sama dengan seratus tahun, ada pula yang mengatakan sepuluh tahun; namun beberapa informasi dari lontara’ lebih rasional mengikuti yang sepuluh tahun).
Manurung-E, berasal dari bahasa Bugis yang dalam terjemahan bebasnya berarti “orang yang turun dari ketinggian“. Dalam aturan bahasa bugis, khususnya Bugis-Bone, akhiran E dipakai untuk menunjuk kata kepunyaan, akhiran ‘nya’ dalam bahasa Indonesia. Sehingga akhiran E pada kata Manurung yang diikutinya akan menunjukkan arti dialah orang yang turun dari ketinggian.
Kepercayaan Bugis-Makassar sebelum mengenal Islam, Manurung-E atau Tu Manurung (red. Makassar) dianggap sebagai perwujudan tuhan, dewa (Bugis-Bone: dewata seuwwaE); manusia yang turun dari langit, namun bukan sebagai manusia pertama (Adam). Namun seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, sulit rasanya untuk menerima argumen-argumen to-riolo (nenek moyang). Sejumlah asumsi yang dibangun oleh ahli sejarah pun tidak cukup memberikan pemahaman yang memadai kepada kita dikarenakan kurangnya bahan kajian. Satu hal penting yang disepakati oleh para budayawan adalah bahwa Manurung-E merupakan manusia yang mempunyai kelebihan dibandingkan manusia lainnya; pandai dan mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan masyarakat sekitarnya.
Hal ini juga dipertegas dalam lontara’ yang mengisahkan adanya sekelompok masyarakat yang menyambutnya kemudian memintanya untuk menjadi raja/mangkau’. Oleh sebab itu, disinyalir to manurung sebagai orang suci (saint) yang sedang dalam perjalanan spiritual. Namun, kemudian terdampar pada sebuah daerah (bugis) yang ‘kebutulan’ belum memiliki sosok pemimpin/raja.
Berbeda dengan di daerah lain, sebut misalnya di pulau Jawa, yang banyak meninggalkan jejak sejarah seperti prasasti yang informasinya dapat bertahan lama. Oleh sebab itu, lontara’ harus diletakkan pada posisi terdepan sebagai bahan kajian untuk mengungkap misteri perjalanan suku-suku di Sulawesi.
Selain di Nederland-Belanda, keberadaan lontara yang mempunyai informasi penting mengenai sejarah Kerajaan Bone, khususnya kebudayaan Bugis-Makassar, disinyalir masih banyak berserakan di tangan-tangan penduduk. Namun ada kepercayaan benda-benda sejarah ini memiliki “tuah” sehingga mereka enggan memberikan kepada peneliti. Mereka masih percaya bahwa dengan memegang lontara,kewibawaan mereka akan tetap terjaga dan senantiasa dihormati oleh masyarakat.
Dalam lontara’ disebutkan, ketika keturunan dari Puatta Menre’E ri Galigo malawini darana (bangsawan dan rakyat-biasa sudah tidak bisa dibedakan sebagai akibat perkawinan) terjadi kekacauan yang luar biasa karena ketiadaan sosok pimpinan yang berasal dari bangsawan (manurung). Keadaan Bone saat itu, chaos. Norma-norma hukum tidak berlaku, adat-istiadat dipasung, kehidupan ummat tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa dan saling membunuh. Bone butuh sosok pemimpin, namun dari kalangan mereka tidak ada yang saling mengakui keunggulan satu sama lain.
Ketika konflik tengah berlangsung, sebuah gejala alam yang mengerikan melanda wilayah Bone dan sekitarnya. Gempa bumi terjadi demikian dahsyatnya, angin puting beliung menerbangkan pohon beserta akar-akarnya, hujan lebat mengguyur alam semesta dan gemuruh guntur diiringi lidah kilatan petir yang menyambar datang silih berganti selama beberapa hari. Gejala alam seperti ini juga diceritakan dalam pararaton (Kitab Raja-raja) dan prasasti peninggalan kerajaan Majapahit.
Sesaat setelah hujan reda, dari ufuk timur muncullah bianglala. Tidak berapa lama, di tengah padang nampak segumpal cahaya yang menyilaukan mata, muncul sosok manusia mengenakan pakaian serba putih (pabbaju puteh). Karena tak seorang pun yang mengenalnya, orang-orang menganggapnya sebagai To Manurung, manusia yang turun dari langit. Cerita kemunculan To Manurung ini cepat menyebar di kalangan Kalula. Dan mereka pun mengunjungi Sang Misteri. Para kalula anang (pemimpin kelompok) kemudian mengorganisir diri berembuk untuk, dan sepakat, mengangkat To Manurung menjadi raja mereka. Bersama dengan orang banyak yang berkumpul tersebut, para kalula kemudian berkata,
Kami semua datang ke sini memintamu agar engkau tidak lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi mangkau’. Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kamipun akan turut mencelanya asal engkau mau tinggal.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Bagus sekali maksud tuan-tuan, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi Mangkau sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat mangkau’, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah bangsawan yang saya ikuti.”
Orang banyak berkata,
“Bagaimana mungkin kami dapat mengangkat seorang mangkau yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang mangkau, aya akan tunjukkan tempat matajang (terang), disana lah bangsawan itu berada”.
Orang banyak berkata,
”Kami benar-benar mau mengangkat seorang mangkau, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung bernama Puang Cilaong, mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang). Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Halilintar dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu; satu orang yang memayungi teddumpulaweng (payung berwarna kuning keemasan), satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang. To Manurung,
”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab,
”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian kuning keemasan. Berkatalah orang banyak kepada To Manurung,
”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah (lagi) engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi mangkau’. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri-kami engkau cela, kami pun (turut) mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”
Manurung menjawab,
”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi tawar menawar, semacam kontrak sosial, antara To Manurung dengan orang banyak (kalula anang), dipindahkanlah Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Salah satu kelebihannya yang menonjol adalah jika datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE. ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi mangkau’ pertama di Bone.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), mappasikatau (meredakan segala macam konflik horisontal) dan pangadereng (mengatur tatacara berinteraksi sesama masyarakat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama woromporong-E berwarna merah dan putih –mirip bendera Republik Indonesia sekarang.
Setelah genap eppa pariyama (empat dekade) memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan,
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita (ketika menunjuk/ngangkat aku sebagai Mangkau’-Bone”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan teddum-pulaweng (payung kuning keemasan) turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran. Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone.
Manurung-E ri Matajang kawin dengan We Tenri Wale-ManurungE ri Toro. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa, We Pattanra Wanuwa, dan We’ Samateppa (lima bersaudara, dua diantaranya tidak tercatat [belum] ditemukan dalam lontara’).
Namun, berdasarkan laporan penelitian dari tim Royal Ark diperoleh informasi bahwa hasil perkawinan Manurung-E ri Matajang dengan We Tenri Wale-Manurung-E ri Toro mempunyai dua orang putera dan empat orang putri yakni:
  • Bolong-Lelang, meninggal masa kanak-kanak;
  • La Ummasa To Mulaiye Panreng, yang selanjutnya menjadi Arumpone kedua;
  • We’ Tenri Ronrong, meninggal masa kanak-kanak;
  • We Pattanra Wanuwa, kawin dengan La Pattikkeng-Arung Palakka. Dari hasil perkawinan ini lahirlah Latenri Longorang, La Saliyu Karampeluwa Pasadowakki yang selanjutnya menggantikan pamannya menjadi Arumpone, We Tenri Pappa yang kawin dengan La Tenri Lampa-Arung Kaju, We Tenri Ronrong kawin dengan dengan La Paonro-Arung Pattiro;
  • We Tenri Salogan kawin dengan La Ranringmusu-Arung Otting; dan
  • We Arantiega kawin dengan La Patongarang-arung Tanete
Catatan::
Awal berdirinya Kerajaan Bone atas dasar: musyawarah, diangkat secara langsung oleh ketua kelompok (anang) -sepadan dengan wakil rakyat di DPR sekarang, pemimpin diangkat untuk kepentingan bersama bukan atas dasar kepentingan golongan atau kelompok, dll.
Ditulis dalam
Akkarungeng, begawan, kajao, kerajaan bone, raja bone, raja nusantrara. Tag: Akkarungeng, Bahasa,

RAJA BONE 2
La Saliyu Karampeluwa (1424–1496)
Masa kecil La Saliyu Karampeluwa di asuh oleh We Samateppa, saudara perempuan La Ummasa.  
Bertahtahnya La Saliyu di Kerajaan Bone tidak serta merta menghilangkan peran penting saudara sepupunya, To Suwalle dan To Sulawekka.Tugas berat justru menantinya. Ayahandanya (La Ummasa) memberi tugas kepada keduanya untuk menjalankan roda pemerintahan sementara mengingat La Saliyu masih bayi. To Sulawekka diserahi tugas untuk mengurus hubungan dengan kerajaan luar, semacam Menteri Luar Negeri, dalam hal ini dikenal dengan istilah Makkedang Tana. Sementara To Suwalle dipercaya memangkunya jabatan sebagai juru bicara yang bertugas memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan kerajaan. Jabatan ini lah yang kemudian pada pemerintahan raja-raja selanjutnya menjadi jabatan strategis, yakni sebagai To Marilaleng. Oleh karena itu, La Ummasa juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan dasar-dasar sistem perintahan di kerajaan Bone.
Memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone.
Pada masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat-sifat; rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara besar.
La Saliyu Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong/angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh arung-arung terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang membuat bate (bendera) yang bernama; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau (Merah di sebelah kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE).
Pada saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing bahagian bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah bendera WoromporongE adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai pembawanya. Yang bernaung di bawah bendera CellaE ri atau adalah orang Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle, Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao Paccing. Sedangkan yang bernaung di bawah bendera CellaE ri abeo adalah orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, Madello, pembawanya adalah Kajao Araseng.
Untuk memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri sekitarnya seperti; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone.
Beberapa negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe.
Arung Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping datang untuk menyatakan diri bergabung dengan Bone, sekaligus melamar anak Arumpone yang bernama We Banrigau dan dutanya diterima.
Selanjutnya Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone.
La Saliyu Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone bepergian jauh.
Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa,
”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar MakkaleppiE-Arung Majang”.
Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone,
”Di samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”.
Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.
La Saliyu Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang, We Pattana Daeng Mabela. Sementara bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE–Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya, Puatta Lawelareng.
Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ; We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse.
Adapun anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.
La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.

RAJA BONE 3
La Saliyu Karampeluwa (1424–1496)
Masa kecil La Saliyu Karampeluwa di asuh oleh We Samateppa, saudara perempuan La Ummasa.  
Bertahtahnya La Saliyu di Kerajaan Bone tidak serta merta menghilangkan peran penting saudara sepupunya, To Suwalle dan To Sulawekka.Tugas berat justru menantinya. Ayahandanya (La Ummasa) memberi tugas kepada keduanya untuk menjalankan roda pemerintahan sementara mengingat La Saliyu masih bayi. To Sulawekka diserahi tugas untuk mengurus hubungan dengan kerajaan luar, semacam Menteri Luar Negeri, dalam hal ini dikenal dengan istilah Makkedang Tana. Sementara To Suwalle dipercaya memangkunya jabatan sebagai juru bicara yang bertugas memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan kerajaan. Jabatan ini lah yang kemudian pada pemerintahan raja-raja selanjutnya menjadi jabatan strategis, yakni sebagai To Marilaleng. Oleh karena itu, La Ummasa juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan dasar-dasar sistem perintahan di kerajaan Bone.
Memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone.
Pada masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat-sifat; rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara besar.
La Saliyu Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong/angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh arung-arung terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang membuat bate (bendera) yang bernama; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau (Merah di sebelah kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE).
Pada saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing bahagian bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah bendera WoromporongE adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai pembawanya. Yang bernaung di bawah bendera CellaE ri atau adalah orang Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle, Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao Paccing. Sedangkan yang bernaung di bawah bendera CellaE ri abeo adalah orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, Madello, pembawanya adalah Kajao Araseng.
Untuk memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri sekitarnya seperti; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone.
Beberapa negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe.
Arung Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping datang untuk menyatakan diri bergabung dengan Bone, sekaligus melamar anak Arumpone yang bernama We Banrigau dan dutanya diterima.
Selanjutnya Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone.
La Saliyu Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone bepergian jauh.
Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa,
”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar MakkaleppiE-Arung Majang”.
Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone,
”Di samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”.
Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.
La Saliyu Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang, We Pattana Daeng Mabela. Sementara bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE–Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya, Puatta Lawelareng.
Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ; We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse.
Adapun anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.
La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.
RAJA BONE 4
We Benrigau Daeng Marowa (1496–1516)
We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We Banrigau digelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernama La Datti untuk membeli Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau jantan. Akhirnya gunung yang terletak di sebelah barat Kampung Laliddong itu benar-benar dibelinya. Kemudian disuruhlah Arung Katumpi untuk menempati gunung tersebut dan sekaligus menjaganya. Karena jennang (penjaga) gunung Arumpone dibunuh oleh orang Katumpi, maka digempurlah Katumpi oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya yang ada di sebelah timur dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama La Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya yang bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.
Setelah kurang lebih 18 tahun lamanya dipersiapkan untuk memangku Kerajaan di Bone, maka dilantiklah La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone dan menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama anak bungsunya yang bernama La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di Cina.
Suatu saat ketika berada di Cina, MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya. Tiba-tiba ada api yang menyala di atas loteng (menurut keyakinan orang disebut = api dewata). Setelah api itu padam, maka MakkaleppiE tidak nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu, We Banrigau Daeng Marowa dinamakan MallajangE ri Cina.
La Tenri Sukki yang menggantikan ibunya sebagai Arumpone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Songke, anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung.
Anak La Tenri Sukki yang lain adalah ; La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan yang bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung Timpa. Inilah yang kemudian kawin dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya yang bernama La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga maddanreng (menetap) di Mampu. La Saliwu kemudian kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang bernama We Lempe, lahirlah La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.
Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange I Da Tenri Wewang kawin dengan La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E.
Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenri Gau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’E, lahirlah We Temmarowe Arung Kung. Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa
RAJA BONE 5
La Tenri Sukki (1516 – 1543)
Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.
Adapun taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.
Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan,
”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”.
Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar Mappajung-E (memakai payung). Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama, Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi). Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu,
”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”.
Dijawab oleh Datu Luwu,
”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”.
Merasa ajakannya disambut baik,Arumpone berkata,
”Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan; kalau ada yang rebah mari kita saling menopang, dua hamba satu Arung; tindakan Luwu adalah tindakan Bone, tindakan Bone adalah tindakan Luwu; baik dan buruk kita bersama, tidak saling membunuh, saling mencari kebaikan, tidak saling mencurigai, tidak saling mencari kesalahan; walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone; walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu; bicaranya Luwu, bicaranya Bone –bicaranya Bone, bicaranya Luwu; adatnya Luwu, adatnya juga Bone, begitu pula sebaliknya; kita tidak saling menginginkan emas murni dan harta benda; barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya, dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu.”
Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama ”Polo MalelaE ri Unynyi” karena terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian keduanya kembali ke negerinya.
Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada Arumpone. Arung Mampu berkata,
”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku.”
Arumpone menjawab,
”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”.
Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.
La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan,
”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama La Uliyo”.
Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Anak La Tenri Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah La Uliyo Bote’E kawin dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro Maggading-E. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe Bongkang-E, La Inca, We Lempe, We Tenri Pakkuwa.
Selain La Uliyo, ialah We Denra Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara’ yang digulung).
We Sida Manasa kawin dengan La Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli. 
RAJA BONE 6
La Uliyo Bote’E (1543 – 1568)
La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang.
La Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate,
”Kalau ada kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.
Arumpone inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong.
Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.
Setelah genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya berkumpul, disampaikanlah bahwa,
”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku yang bernama La Tenri Rawe”.
Mendengar pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu.
La Uliyo Bote’E pernah memarahi kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.
La Paunru dan La Mulia berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut dari belakang.
Setelah sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan, namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.
Anak berikutnya adalah La Inca, dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.
Anaknya yang berikut, We Lempe yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontara.’
Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu. Inilah yang kawin dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang bernama La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju.
Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan keturunannya dalam lontara’.
RAJA BONE 7
La Tenri Rawe Bongkang-E (1568–1584)
La Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke.
La Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh orang yang bernama Dangkali.
Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.
Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.
Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.
TellumpoccoE juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.
Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.
Saudara Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.
Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.
Hanya kurang lebih dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.
Sementara orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.
Daeng Padulung salah seorang pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo adalah,
”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami menghendaki kebaikan.”
Berkata Kajao Laliddong,
”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”.
Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.
Ketika menjadi Arumpone La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.
Untuk memperkuat kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.
Adapun kesepakatan yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne. Ketiganya mengucapkan ikrar,
”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut, sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.”
Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).
Ketika sampai pada hari yang telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo.
Pertemuan tiga kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne. Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone,
”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”.
Arumpone menjawab,
”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”.
Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo. Berkata pula PollipuE ri Soppeng,
”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya bersaudara, berarti sejajar”.
Arumpone menjawab,
”Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah benar”.
Arung Matowa Wajo menjawab,
”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda).”
Berkata lagi Arumpone,
”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.
Berkata pula Arung Matowa Wajo,
”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”.
Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata,
”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.
Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo,
”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.
Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone,
”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.
Pernyataan Arung MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk ; ”Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak kepemilikan).
Inilah isi perjanjian TellumpoccoE yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.
Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya, maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di Bone karena dirinya tidak memiliki ana’ pattola (putra mahkota).
Karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.
RAJA BONE 8
La Inca (1584–1595)
Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung.
Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.
Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.
Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.
Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya,
”Ada apa gerangan di Bone?”
Dengan ketakutan orang Bone berkata,
”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.
Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.
I Damalaka menyuruh salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu, La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.
Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri.
“Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”.
Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka. Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.
Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).
Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.
We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.

RAJA BONE 9
La Pattawe (1595–1602
Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’ di Bone. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang -dikenal sebagai Petti Majang. Kepada orang banyak, Arung Majang berkata,
“Inilah cucuku yang bernama La Pattawe yang kita sepakati menggantikan sepupunya”.
La Pattawe adalah anak La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki MappajungE dari isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju. La Pattawe adalah anak Arung Palakka turunan We Benri Gau MakkaleppiE, Arung Majang. Orang Bone sepakat untuk mengangkat La Pattawe menjadi Mangkau’ di Bone.
La Pattawe Daeng Soreang kawin dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak dari La Uliyo Bote-E, MatinroE ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang selanjutnya melahirkan We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu melahirkan We Tenri Pateya I Dajai yang kawin dengan La Pangerang Arung Maroanging. Selanjutnya La Pattawe kawin dengan We Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah We Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong anak dari La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu Arung Timurung.
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke LebaE ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario Riwawo. Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan nenek MatinroE ri Nagauleng. La Pattawe, tidak terlalu banyak disebut langkah-langkahnya dalam pemerintahannya. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah dia sakit. Dia meninggal di Bettung sehingga disebut MatinroE ri Bettung.

RAJA BONE 10
We Tenri Patuppu (1602–1611)
We Tenri Patuppu menggantikan ayahnya menjadi Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu (tujuh pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk, adalah,  Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’), Matowa Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan Tanete Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung Ujung) dan Matowa Ponceng (Arung Ponceng).
We Tenri Patuppu berkata kepada Arung PituE,
”Saya mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk membantu saya dalam menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya lakukan karena saya adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan bantuan. Namun perlu kalian tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi pemegang adat, tetapi kalian tetap ; tidak bisa melangkahi adat Bone, tidak bisa menyatakan perang, tidak bisa mewariskan kepada anak cucu, kalau saya tidak mengetahuinya. Kacuali apabila duduk semua turunan MappajungE kemudian direstui oleh Mangkau’ Bone”.
Pada masa pemerintahan We Tenri Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke Ajattappareng membawa agama Islam. Sepakatlah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk menghalangi, sehingga KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya. Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri Gowa ke Padangpadang, dihalangi lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah di sebelah timur Bulu’ Sitoppo dan terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan TellumpoccoE. Tahun berikutnya, datang lagi KaraengE ri gowa ke Soppeng. Tetapi tidak ada lagi bantuan dari Bone dan Wajo, sehingga Soppeng dikalahkan dan masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng yang menerima Islam bernama BeowE.
Setelah Soppeng menerima Islam, datang KaraengE ri Gowa ke Wajo dan kalahlah orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang bernama La Sangkuru yang menerima Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo memeluk Islam.
Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
Semasa hidupnya We Tenri Patuppu kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo, kemudian melahirkan anak bernama La Pasoro. Inilah yang kawin dengan We Tasi, lahirlah La Toge MatinroE ri KabuttuE. La Toge kawin dengan We Passao Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin dengan Daeng Manessa Arung Kading.
Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.
We Bubungeng dan La Tenri Bali melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa, inilah yang kemudian menjadi Datu Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda MatinroE ri Madello, kemudian menjadi Datu juga di Soppeng.
We Tenri Tana Arung Mampu Riawa kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa Wajo.
La PallempaE atau La Pasompereng Petta I Teko kawin dengan KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama dan We Alima. We Alima kawin dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi. Lahirlah I Baba Karaeng Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab perselingkuhan isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Dia membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke Selong.
Anak terakhir dari We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng adalah ; We Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga MatinroE ri Tallo kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.



RAJA BONE 11
La Tenri Ruwa Arung Palakka (1611–3 bln)
La Tenri Ruwa Arung Palakka juga sebagai Arung Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Ketika Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri Ruwa menjadi Mangkau’ di Bone.
Belum cukup tiga bulan setelah menjadi Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa membawa agama Islam ke Bone. Orang Gowa membuat benteng di Cellu dan Palette. Berkatalah Arumpone kepada orang Bone,
”Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, siapa yang mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.
KaraengE ri Gowa berkata,
”Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada Dewata SeuwaE (Allah SWT)”.
Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; ’Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraengE padahal dia benar, dia pasti masih memerangi kita dan kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya”.
Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.
Akhirnya Arumpone naik ke SalassaE (istana) bersama keluarga dan hambanya. Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone sepakat untuk menjatuhkan La Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La Mallalengeng To Alaungeng ke Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La Mallalengeng menyampaikan ; ”Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya”.
Arumpone menjawab ; Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.
Ketika To Alaungeng kembali ke Bone, Arumpone La Tenri Ruwa menyuruh salah seorang keluarganya ke Pallette untuk bertemu dengan KaraengE ri Gowa yang sementara berkedudukan di Pallette. Begitu pula KaraengE menyuruh Karaeng Pettu ke Pattiro menemui Arumpone. Sesampainya Karaeng Pettu di Pattiro dan bertemu Arumpone, tiba-tiba tempatnya bertemu itu dikepung oleh orang Pattiro bersama orang SibuluE. Arumpone sekeluarga bersama Karaeng Pettu meninggalkan tempat menuju ke puncak gunung Maroanging.
Setelah itu, pergilah Arumpone menemui KaraengE ri Gowa, sementara Karaeng Pettu tinggal menjaga Pattiro. Di Pallette Arumpone La Tenri Ruwa ditanya oleh KaraengE ri Gowa ; ”Sampai dimana batas kekuasaanmu. Sebab saya tahu bahwa Bone adalah milikmu, sementara menurut berita bahwa akkarungeng telah berpindah di Bone”. Arumpone menjawab ; ”Yang menjadi milikku adalah Palakka dan Pattiro begitu juga Awampone. Kalau Mario Riwawo adalah milik isteriku”.
Berkata lagi KaraengE ; ”Sekarang ucapkanlah syahadat, biar Palakka, Pattiro dan Awampone saja yang menerima Islam. Untuk Bone biarkan saja tidak bertuan, Gowa tidak akan memperhambamu”. Arumpone menjawab ; ”Karena saya akan mengucapkan syahadat, sehingga saya kemari”.
Selanjutnya KaraengE ri Gowa berkata ; ”Saya juga tahu bahwa Pallette ini adalah milikmu, tetapi kebetulan tempat berdirinya bentengku. Oleh karena itu saya menganggapnya sebagai milikku, namun saya berikan kembali kepadamu”.
Kemudian KaraengE ri Gowa, Karaeng Tallo dan Arumpone berikrar ; Pertama diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo ; ” Inilah yang akan dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE bahwa bukanlah turunan KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu”. Lalu Arumpone menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bambu yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.
Setelah ketiganya mengucapkan ikrar, kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa ke Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan bersama, dibakarlah Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan mengucapkan syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya.
Sejak La Tenri Ruwa meninggalkan Bone dan berada di Pattiro, sejak itu pula orang Bone menganggapnya bahwa dia bukan lagi Mangkau’ di Bone. Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari MatinroE ri Sapananna (addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung Timurung yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa setelah KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir oleh orang Bone agar meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng berangkat ke Su’ (Mangkasar) dan tinggal pada Dato’ ri Bandang. Ia pun diberi nama Arab yaitu Sultan Adam. Disuruhlah memilih tempat oleh Dato’ dan KaraengE ri Gowa. Tempat yang dipilihnya adalah Bantaeng dan di Bantaenglah ia meninggal, oleh karena itu dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
La Tenri Ruwa kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo yang kemudian disebut juga Datu’ Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui. We Tenri Sui pernah juga kawin dengan To Lempe Arung Patojo saudara kandung Datu Soppeng yang mula-mula memeluk Islam yang bernama BeowE. Dari perkawinannya lahirlah We Bubungeng yang berarti bersaudara kandung dengan We Tenri Sui.
We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle, anak dari We Cammare Datu Lompengeng MattendumpulawengE dari suaminya yang bernama To Wawo. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tatta To Unru Datu Mario Riwawo. Ada juga yang bernama We Tenri Abang. Selain itu, We Dairi (meninggal diwaktu kecil), We Tenri Wempeng Daunru (meninggal diwaktu kecil), La Tenri Garangi (meninggal diwaktu kecil), selanjutnya We Kacimpureng Daoppo Datu Marimari, tidak ada keturunannya.
We Bubungeng I Dasajo Arung Pattojo diangkat menjadi datu di Watu, kawin dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yada MatinroE ri Madello.
Arung Tanatengnga kemudian kawin lagi dengan We Tenri Pada Datu Watu anak dari We Puampe dengan suaminya La Page Datu Mario Riwawo.
Adapun La Tenri Tatta To Unru diwariskan oleh ibunya untuk menjadi datu ri Mario Riwawo, sehingga digelar sebagai Datu Mario Riwawo. La Tenri Tatta kawin dengan sepupunya yang bernama We Dadda atau We Yadda anak dari We Bubungeng I Dasajo dari suaminya MatinroE ri Datunna. Dari perkawinannya ini tidak melahirkan seorang anak, akhirnya bercerai.
Isteri La Tenri Tatta yang paling dicintainya adalah I Mangkawani Daeng Talele, tetapi juga tidak ada keturunannya. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru sampai akhir hayatnya tidak memiliki keturunan.
Saudara kandung La Tenri Tatta yang bernama We Tenri Wale Da Umpu Mappolo BombangE itulah yang menjadi Maddanreng ri Palakka. Karena setelah La Tenri Tatta kembali dari Mangkasar, orang Bone menobatkannya menjadi Arung Palakka. Mappolo BombangE kawin dengan La PakokoE Arung Timurung yang juga Ranreng di Tuwa dan sebagai Arung di Ugi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng.
Sedangkan saudara kandung La Tenri Tatta yang lain yang bernama We Tenri Abang Da Eba, itulah yang mengikutinya sewaktu La Tenri Tatta To Unru pergi ke Jakarta. Oleh karena itu, La Tenri Tatta menyerahkan kepada adiknya itu untuk menjadi Datu ri Mario Riwawo. We Tenri Abang kawin dengan La Sule atau La Mappajanci Daeng Mattajang Karaeng Tanete, turunan Karaeng Tallo. Dari perkawinannya itu lahir dua orang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dan We Tenri Lekke’.
We Pattekke Tana kawin dengan PajungE ri Luwu MatinroE ri Langkanana yang bernama La Onro To Palaguna. Dari perkawinannya itu lahirlah We Batara Tungke dan We Fatimah MatinroE ri Pattiro. We Fatimah MatinroE ri Pattiro kawin dengan sepupunya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile. Dari perkawinan itu lahirlah We Tenri Leleang Datu Luwu dan La Oddang Riwu Daeng Mattinring atau La Tenri Oddang. Inilah yang menjadi Arung Pattiro dan Datu Tanete. Selanjutnya melahirkan La Tenri Angke’ Datu Marimari.
Adapun anak Batara Tungke yang bernama We Tenri Lekke saudara kandung We Pattekke Tana, kawin dengan La Pasau Arung Menge yang juga sebagai Ranreng di Talotenre Wajo.
We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya To Lempe Arung Pattojo melahirkan We Bubungeng I Dasajo. We Bubungeng I Dasajo inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Bali MatinroE ri Datunna, anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yadda MatinroE ri Madello.
La Tenri Senge’ To Wesang kawin dengan We Pada Daeng Masennang di Pammana, anak dari La Tenri Sessu To TimoE. Dari perkawinannya lahirlah La Makkateru (meninggal dunia sewaktu kecil). Selanjutnya lahir pula La Karidu yang kemudian menjadi Arung Sekkaili. La Karidu kawin di Pammana dengan anak WatampanuwaE ri Pammana. Dari perkawinan itu lahirlah La Mappassili Arung yang kemudian menjadi Arung Pattojo. La Mappassili kawin di Tanete dengan Arung Lalolang yang kemudian melahirkan anak laki-laki yang bernama La Barahima.
Selanjutnya La Mappassili kawin lagi dengan We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang, anak We Fatimah Batara Tungke MatinroE ri Pattiro denganh suaminya La Rumpang Megga To Sappaile MatinroE ri Suppa. Inilah yang melahirkan La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung.
Anak berikutnya adalah We Tenri Abang Datu Watu Arung Pattojo dan berikutnya bernama Janggo’ Panincong. Inilah yang tewas dipenggal kepalanya oleh kemanakannya sendiri yang bernama Baso Tancung pada Perang Batubatu. Dalam peristiwa itu, La Mappassili tewas terbunuh oleh iparnya sendiri yang bernama La Oddang Riwu Daeng Mattinring Karaeng Tanete.
Kembali kita bicarakan La Pottobune’ dengan isterinya We Tenri Pasa Datu Watu. Melahirkan anak yang bernama La Page yang kemudian diwariskan untuk menjadi Datu di Lompulle. La Page bersaudara dengan La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru dari ayahnya. La Page Datu Lompulle kawin dengan We Buka Datu Botto. Dari perkawinan itu lahirlah La Malleleang To Panamangi Datu Lompulle dan juga Datu Mario Riwawo. Selanjutnya La Panamangi kawin dengan We Mekko Datu Bakke, lahirlah We Tenri Datu Botto.
We Tenri Datu Botto kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Temmu Page anak We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dengan suaminya yang terakhir yang bernama To Baicceng. We Tenri dengan La Temmu Page melahirkan anak laki-laki yang bernama La Mallarangeng To Samallangi, inilah yang kemudian menjadi Datu Lompulle dan Datu Mario Riwawo. La Mallarangeng To Samallangi kawin dengan We Tenri Leleang janda dari La Mappassili. Dari perkawinannya itu lahirlah La Maddussila Karaeng Tanete. La maddussila inilah yang kawin dengan We Seno Datu Citta, anak dari La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng dengan isterinya yang bernama Sitti Habiba.
Selanjutnya We Tenri Leleang janda dari La Mappassili yang kawin dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan We Panangareng Daeng Risanga Arung Cinennong Datu Mario Riwawo MatinroE ri Ujungtana. We Panangareng Daeng Risanga kawin dengan La Sunra Datu Lamuru MatinroE ri Lamangile, anak dari La Tenri Sanga Petta Janggo’E Datu Lamuru.
Kemudian We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan La Tenri Sessu Arung Pancana, inilah yang kawin dengan We Paddi Petta Punna BolaE anak dari Maddanreng Bone yang bernama La Sibengngareng. Selanjutnya La Tenri Sessu kawin lagi dengan We Tenri Lawa Besse Peyampo di Wajo, saudara kandung dari Arung Belle La Sengngeng MatinroE ri Salawa’na.
We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng melahirkan lagi We Pada Daeng Malele, Fatimah Ratu Daeng Tacowa MatinroE ri Sigeri, La Maggalatung To Kali Datu Lompulle yang juga sebagai Datu Botto dan Batari Toja We Akka Daeng Matana Opu Datu ri Bakke. Inilah yang kawin dengan PajungE ri Luwu yang bernama La Pattiware MatinroE ri Sabbamparu.

RAJA BONE 12
La Tenri Pale To Akkepeang (1611 – 1625)
Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.
Inilah Mangkau’ di Bone yang membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk menolak masuknya agama Islam di Bone. Oleh karena itu KaraengE kembali memerangi Bone, sehingga orang Bone kalah dan menyerah. Diundanglah seluruh Palili (daerah bawahan) untuk disuruh mengucapkan syahadat sebagai tanda bahwa seluruh orang Bone telah menerima agama Islam. Setelah itu KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.
La Tenri Pale To Akkeppeang dua bersaudara yaitu We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang bernama La Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We Tenri Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi Arung Pattiro.
Satu lagi adik La Maddaremmeng bernama We Tenri Ampareng, dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To Senrima dia menjadi Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang.
We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To Unru -tidak ada keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru. Inilah yang kawin dengan Datu Citta yang bernama Todani yang menjadi Arung EppaE Ajattappareng yaitu ; Addatuang Sidenreng, Datu Suppa, Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia juga Karaeng di Galingkang.
Ketika Todani memperisterikan saudara La Tenri Tatta, dia mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone, barulah Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan) di Bone.
Sedangkan saudara La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale MatinroE ri Bola Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di Palakka.
Satu tahun setelah orang Bone menerima Islam, pergilah Arumpone ke Makassar menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah. Itulah nama Arumpone yang dibaca pada khutbah Jumat.
Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia sangat memperhatikan masalah pertanian. Arumpone inilah yang kawin dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari suaminya yang bernama To Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE ri Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We Daba.
Selama menjadi Arumpone, La Tenri Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di Tallo sehingga digelar La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.

RAJA BONE 13
La Maddaremmeng (1625–1640)
La Maddaremmeng menggantikan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone berjanji bahwa:
La Tenri Pale,
”Siapa yang mengingkari janji, dialah yang menanggung resiko buruknya”
Orang Bone,
”Siapa yang berbuat kebaikan, dialah yang menerima imbalan kebaikan itu”
Setelah saling mengiyakan kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa waktu menjadi Arumpone, diadakanlah penggalian bendungan di sebelah selatan Leppangeng. Selama tiga tahun digali, ternyata airnya tak bakal naik. Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang rumah, tiba-tiba La Tenri Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone.
Sesampainya di Bone, diundanglah seluruh orang Mampu dan menyampaikan bahwa ; Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil keluargaku untuk datang memiliki kembali miliknya. Kemudian La Tenri Pale berangkat ke Su (Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Tallo.
Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian.
La Maddaremmeng kawin di Wajo dengan perempuan yang bernama Hadijah I Dasenrima anak dari Arung Matowa Wajo yang bernama La Pakallongi To Ali dengan isterinya We Jai Ranreng Towa Wajo yang juga sebagai Arung Ugi. Dari perkawinan La Maddaremmeng dengan We Jai, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La PakokoE Toangkone yang digelar TadampaliE. La PakokoE Toangkone kemudian diangkat menjadi Arung Timurung.
La PakokoE Toangkone kawin dengan saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. Anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga. Dari perkawinannya itu lahirlah La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng.
Selanjutnya La Maddaremmeng kawin lagi dengan Arung Manajeng. Dari perkawinannya yang kedua itu lahirlah anak laki-laki yang bernama Toancalo Arung Jaling. Inilah yang kawin dengan We Bunga Bau Arung Macege, anak dari Karaeng Massepe dengan isterinya yang bernama We Impu Arung Maccero. Toancalo Arung Jaling dengan We Bunga Bau Arung Macege yang melahirkan Tobala Arung Tanete Riawang yang digelar Petta PakkanynyarangE.
Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka.
Isteri La Maddaremmeng yang lain bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We Cakka Datu Ulaweng. Melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Daompo. Inilah yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. La Uncu Arung Paijo dengan We Daompo melahirkan La Tenri Lejja RiwettaE ri Pangkajenne. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone.
RAJA BONE 14
La Sekati Arung Amali (1660–1667)
Setelah Tobala meninggal dunia, KaraengE ri Gowa menunjuk lagi La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone. Selama tujuh tahun La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone, selama itu pula tindakan kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu sebahagian besar sama Karaeng Bonto Marannu menyerang Butung. Dengan pasukan yang lengkap dan siap berperang, berangkatlah ke Butung untuk menghajarnya.
Sementara itu, La Tenri Tatta Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan pasukan Kompeni Belanda telah berada dalam perjalanan menuju ke Tanah Ugi. Dia akan langsung ke Butung untuk mengambil seluruh orang Bone dan orang Soppeng yang mengungsi kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu pula orang-orang Gowa yang lari kesana. Hal ini terjadi dalam tahun 1667 M.
Atas kedatangan Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, merupakan akhir penderitaan orang Bone dari penjajahan Gowa. Sebelum Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah kapal Kompeni Belanda yang ditumpangi La Tenri Tatta Arung Palakka bersama dengan pasukan Belanda. Dengan demikian rencana Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu untuk menyerang Butung terpaksa batal.
Admiral Speelman selaku pimpinan pasukan Belanda bersama La Tenri Tatta Arung Palakka mengutus beberapa orang untuk menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Kepada utusan itu disuruh untuk menyampaikan kepada Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bahwa janganlah Raja Butung yang diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau KaraengE ri Gowa benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya sudah ada. Atau alangkah baiknya kalau Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu turun ke kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera putih untuk kita bicara secara baik-baik.
Mendengar penyampaian Admiral Speelman dan La Tenri Tatta Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, Datu Luwu minta pertimbangan kepada Karaeng Bonto Marannu. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya ajakan Admiral Speelman dan Arung Palakka, maka keduanya sepakat untuk turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk menemuinya.
Kepada Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu La Tenri Tatta Arung Palakka berkata ; ”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bonto Marannu. Maka menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”. Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal. Karena pada saat itu La Tenri Tatta Arung Palakka juga sudah akan menginjakkan kakinya di Tanah Ugi.
Diikutkanlah semua orang Bone , orang Soppeng dan orang Gowa yang ada di Butung. Adapun alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada orang Bone.
Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni Belanda dan seluruh persenjataannya diserahkan kepada orang Bone, maka iapun berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali.
Tanggal 21 November 1667 M. berperang habis-habisanlah La Tenri Tatta melawan Gowa. Bersama dengan Speelman menggempur KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin. Menyerahlah orang Gowa dan KaraengE ri Gowa pun tidak dapat berbuat banyak. La Tenri Tatta Arung Palakka berhasil menegakkan kembali kebesaran Bone, membebaskan orang Bone dari tindakan kesewenang-wenangan Gowa. Tercabutlah taring Gowa yang selama ratusan tahun menjadi kebanggaannya.
Ketika La Tenri Tatta Arung Palakka kembali ke Bone, ia lalu menemui Arumpone pamannya sendiri yang bernama La Maddaremmeng. Pamannya berkata ; ”Saya ini sudah sangat lemah, sehingga alangkah baiknya engkau memegang – akkarungeng (kerajaan) Bone. Karena memang warisanmulah dari MatinroE ri Bantaeng. Karena engkaulah sehingga Bone ini bangkit kembali, makanya tidak wajar untuk saya wariskan kepada anak cucuku yang lain, kecuali kepadamu”.
Arung Palakka menjawab ; ”Saya sangat menghargai kemuliaanmu, Puang. Saya juga menjunjung tinggi maksud baikmu itu, Puang. Tetapi menurutku nantilah api itu padam, baru kita ganti, nantilah tiang itu patah baru kita mencari yang lain”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai akhir hayatnya. Akan tetapi pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na. Begitu juga arung-arung yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda tidak bisa langsung bertemu dengan Gubernur Belanda tanpa meminta izin kepada Arung Palakka.
Gubernur Belanda telah memberikan kewenangan kepada Arung Palakka untuk membawahi seluruh arung-arung dan seluruh negeri-negeri yang ada dalam pengawasan Kompeni Belanda di Celebes Selatan. Oleh Gubernur Belanda telah menunjukkan negeri-negeri yang dikuasakan , seperti ; Balannipa, Sinjai sampai di Bantaeng. Sejak itulah La Tenri Tatta Arung Palakka digelar Petta To RisompaE.
Kekalahan Gowa dalam perang melawan Belanda dan Bone ditandai dengan suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Bungaya. Perjanjian yang mengakhiri kekuasaan Gowa di Celebes Selatan ditanda tangani oleh KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin dan Laksamana Kompeni Belanda Speelman pada hari Jumat 18 November 1667 M. Bertempat di Bungaya.

RAJA BONE 15
La Tenri Tatta Arung Palakka (1667–1696)
Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan tombaknya.
Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata,
”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta beberapa pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu adalah,
“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi),
”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).
Setelah Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan pamannya.
Agar dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Adapun kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng Talele”.
La Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku?”
Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu – dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).
La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah passeyajingeng (daerah sahabat).
Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri pakkarung cera’Etenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassanadigeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.

RAJA BONE 16
La Patau Matanna Tikka (1696–1714)
Nama lengkapnya adalah La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng. Dialah yang menjadi Arumpone setelah pamannya Latenri Tatta Aru Palakka Petta To RisompaE meninggal dunia. Sebelum Petta To RisompaE meninggal dunia, memang kemanakannya yang bernama La Patau Matanna Tikka inilah yang dipesankan untuk menggantikan kedudukannya sebagai Arumpone. Pesan yang dipersaksikan kepada seluruh orang Bone segenap Lili Passeyajingeng Tanah Bone didukung oleh anggota Hadat Tujuh Bone.
La Patau Matanna Tikka adalah anak dari adik perempuan Petta To RisompaE yang bernama We Mappolo BombangE Da Ompo We Tenri Wale Maddanreng Palakka MatinroE ri Ajappasareng. Anak ini lahir dari perkawinannya dengan La PakokoE Toangkone TadampaliE Arung Timurung MaccommengE. La Patau Matanna Tikka MalaE Sanrang, dia juga sebagai Ranreng Towa Wajo pusaka dari ayahnya. Selain itu ia pula sebagai Arung di Ugi.
La Patau merasa belum kuat kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone berhubung masih ada putra mahkota yang lain yang berpeluang untuk diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Putra mahkota tersebut, antara lain ; La Pasompereng Petta I Teko, anak dari La Poledatu ri Jeppe’ dari perkawinannya dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sengngeng.
La Poledatu ri Jeppe’ bersaudara dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE yang juga sebagai Arung Sijelling. La Maddussila Arung Mampu adalah anak dari We Tenri Patuppu Arumpone MatinroE ri Sidenreng. Sedangkan We Tenri Sengngeng adalah anak dari We Tenri Tana Massao LebbaE ri Mampu, adalah saudara La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE.
We Tenri Tana kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Peppang Lebbi WaliE Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri Sengngeng. La Tenri Peppang Lebbi WaliE adalah anak dari We Tenri Pateya saudara We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
We Tenri Patuppu bersaudara, yaitu ; We Tenri Pateya dan We Tenri Parola adalah anak dari La Pattawe Arung Palenna Arumpone MatinroE ri Bettung Bulukumba, dari hasil perkawinannya dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu. We Balole I Dapalippu Arung Mampu adalah anak dari La Uliyo Bote’E Arumpone MatinroE ri Itterung dengan isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu. Arumpone La Uliyo Bote’E inilah yang merupakan nenek dari La Pasompereng Arung Teko dan juga merupakan nenek dari La Patau Matanna Tikka.
Hanya saja ketika Petta TorisompaE menjadi Mangkau’ di Bone sampai meninggal dunia, La Pasompereng kebetulan tidak berada di Tanah Ugi. Dia ke Timor Kupang karena disuruh oleh Petta To RisompaE sendiri membantu Kompeni Belanda dalam memerangi orang Timor. Setelah Petta To RisompaE meninggal dunia, barulah La Pasompereng kembali ke Bone dan bermaksud merebut kedudukan La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone.
Pada mulanya La Patau tidak mengetahui bahwa La Pasompereng dianggap cacat oleh Kompeni Belanda. Nanti setelah adanya surat dari Kompeni Belanda yang menjelaskan tentang perbuatan La Pasompereng, barulah Lka Patau merasa bahwa kedudukannya sebagai Mangkau di Bone telah aman. Karena jelas bahwa La Pasompereng tidak mungkin didukung oleh Kompeni Belanda untuk menduduki Mangkau’ di Bone dengan adanya kesalahannya itu. Apalagi La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna yang bisa mendukungnya juga telah meninggal dunia.
Ketika La Tenri Bali MatinroE ri Datunna meninggal dunia, ia tidak lagi digantikan oleh anaknya. Tetapi orang Soppeng pergi ke Bone untuk minta kepada La Patau Matanna Tikka agar selain sebagai Mangkau’ di Bone, dapat juga menjadi Datu di Soppeng. La Patau Matanna Tikka tidak mengiyakan permintaan orang Soppeng tersebut, karena ia berpikir bahwa kalau permintan orang Soppeng itu diterima, maka ia harus menghadapi dua musuh besar yaitu La Pasompereng Arung Teko dan Daeng Mabbani Sule DatuE ri Soppeng.
Sebagai Ranreng Towa di Wajo, La Patau Matanna Tikka sekali sebulan harus ke Ujungpandang untuk melihat orang Wajo yang ada di Ujungpandang. Untuk membantunya, diangkatlah Amanna Gappa sebagai Matowa Wajo yang menggantikan dirinya bila kembali ke Bone.
Setiap datang dari Bone, La Patau selalu mengadakan Duppa Sawungeng (penyabungan ayam) secara besar-besaran di Malimongeng. Semua arung-arung yang ada di Celebes Selatan yang datang ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda, mereka datang apabila La Patau ada.
Arumpone La Patau Matanna Tikka menolak permintaan orang Soppeng untuk menjadi Datu di Soppeng, karena menurutnya masih ada pilihan yang paling tepat yaitu We Yadda saudara Datu Soppeng MatinroE ri Salassana. Oleh karena itu, We Yadda ditunjuk untuk menjadi Datu di Soppeng. Apalagi semasa hidupnya Petta To RisompaE pernah kawin dengan sepupunya yang bernama We Yadda itu.
Kembali kepada Arung Teko yang bernama La Pasompereng, kawin dengan saudara perempuan KaraengE ri Gowa Mallawakka Daeng Matanre Karaeng Kanjilo Tu Mammenanga ri Passirinna. Dari perkawinannya itu melahirkan anak perempuan yang bernama Karaeng Pabbineya. Inilah yang kawin dengan To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi, anak Opu Tabacina Karaeng Kariwisi dengan isterinya yang bernama Arung Ujung.
Sekembalinya dari Timor, La Pasompereng Arung Teko langsung masuk ke Bone untuk menyampaikan kepada Arumpone La Patau Matanna Tikka bahwa dirinya telah kembali dari Timor. Sebagai Arumpone, La patau menerima kedatangannya, karena dianggap telah melaksanakan tugas dari Petta To RisompaE dalam membantu Kompeni Belanda memerangi Timor. Namun dalam hati La Patau tetap berpikir siapa tahu La Pasompereng akan menuntut -akkarungeng (Kedudukan sebagai Mangkau’)di Bone, karena dia juga sebagai putra mahkota.
Pada saat La Pasompereng berkunjung ke Saoraja menemui La Patau, ia langsung menerima berita tidak baik tentang isterinya yang berselingkuh dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Isteri La Pasompereng yang bernama Karaeng BalakkaeriE adalah sudara dari KaraengE ri Gowa, sehingga pertemuannya dengan Sule Datu Soppeng Daeng Mabbani selalu dilakukannya di SalassaE ri Gowa.
Berkatalah La Patau Matanna Tikka kepada La Pasompereng ; ” Kalau kita tidak dapat mengamankan dalam rumah tangga sendiri, maka lebih tidak bisa lagi mengamankan satu wanuwa (negeri)”. Mendengar pernyataan Arumpone La Patau begitu, La Pasompereng terkejut dan bertanya ; Mengapa adik berkata begitu ? Apa adik mengetahui kalau dalam rumah tanggaku terjadi sesuatu yang memalukan ?”
Setelah Arung Teko mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, barulah Arumpone La Patau Matanna Tikka menjawab ;”Nantilah kakanda kembali ke Gowa baru mengetahui. Sebab hal itu bukan lagi rahasia umum di Gowa”.Selanjutnya Arumpone La Patau menjelaskan tentang perbuatan isterinya itu yang berselingkuh dengan Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani.
Arung Teko kemudian pamit untuk kembali ke Gowa. Sesampainya di rumahnya, benar ia tidak menemukan isterinya. Arung Teko menanyakan kepada seisi rumahnya dan jawabannya adalah Karaeng BalakkaeriE pergi ke SalassaE. Oleh karena itu Arung Teko menyuruh orang untuk memanggil isterinya agar kembali ke rumahnya. Namun penggilan itu tidak diindahkan oleh isterinya dan sudah tidak mau lagi bertemu dengan suaminya.
Dengan demikian maka kepercayaan Arung Teko kepada apa yang disampaikan oleh Arumpone semakin jelas. Ia pun berpikir untuk melakukan perhitungan terhadap Sule DatuE di Soppeng.
Tidak berapa lama, datanglah Arumpone untuk mengadakan penyabungan ayam di Ujungpandang. Menurut kebiasaannya, bila ada penyabungan ayam yang diadakan oleh Arumpone di Ujungpandang, semua arung-arung datang di tempat itu.
Sebelum Arumpone memberikan tanda-tanda kepada Arung Teko bahwa dia mengirim seekor ayam, berarti Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani telah datang dan pasti ia berada di SalassaE untuk melakukan pertemuan dengan Karaeng BalakkaeriE.
Arung Teko lalu mempersiapkan pengawalnya untuk menghadang Daeng Mabbani pada jalan setapak menuju ke SalassaE di Gowa. Sebab dia pikir setelah penyabungan ayam bubar, pasti Daeng Mabbani melewati jalan itu menuju ke SalassaE untuk bertemu dengan isterinya. Sementara itu, Arumpone La Patau Matanna Tikka melaporkan kepada Kompeni Belanda bahwa pada sore hari ini bakal terjadi perkelahian antara Arung Teko serombongan dengan Sule DatuE. Siapa nanti yang membunuh, dialah yang dimasukkan dalam kurungan.
Sore harinya bubarlah penyabungan ayam. Sule DatuE juga bersiap-siap untuk menuju ke SalassaE bersama pengawalnya.Serdadu-serdadu Kompeni Belanda juga telah berjaga-jaga pada tempat yang telah ditunjukkan oleh Arumpone.
Tepat matahari terbenam, pertumpahan darahpun terjadi. Duel antara Arung Teko dengan Daeng Mabbani berlangsung sangat seru yang berakhir dengan meninggalnya Daeng Mabbani. Arung Teko langsung ditangkap dan dimasukkan dalam kurungan dan tidak akan dikeluarkan.
Pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara Inggeris dengan Kompeni Belanda. Gubernur Inggeris yang ada di Kalimantan, mengirim surat kepada Arung Teko yang sementara di penjara melalui utusan khususnya agar Arung Teko bersama seluruh pengikutnya melawan Belanda. Gubernur Inggeris bersedia memberinya bantuan persenjataan, kalau Arung Teko bersedia melawan Kompeni Belanda.
Arung Teko juga dijanji oleh Inggeris bahwa kalau kalah dalam melawan Kompeni Belanda, maka Inggeris siap untuk berhadapan dengan Kompeni Belanda di Celebes Selatan.
Ketika Arumpone mengetahui hal itu, maka dia minta kepada Gubernur Kompeni Belanda agar Arung Teko bersama seluruh pengikutnya dibuang (diasingkan) ke tempat yang diperkirakan tidak bisa kembali ke Tanah Ugi hingga akhir hayatnya. Dipilihlah tempat oleh Kompeni Belanda yaitu Seilon ujung Afrika Selatan. Tempat itulah yang merupakan tempat pembuangan bagi Kompeni Belanda bagi orang yang bersalah atau dianggap membahayakan. Di sanalah Arung Teko bersama seluruh pengikutnya meninggal dunia.
Setelah Arung Teko diasingkan ke Afrika Selatan, barulah pemerintahan La Patau Matanna Tikka di Bone dirasa aman. Ketika itu datang pula orang Soppeng untuk meminta kepada Arumpone agar dapat memegang Bone dan Soppeng. Permintaan orang Soppeng itu diterima oleh Arumpone dan jadilah La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone dan juga sebagai Datu di Soppeng. Hal ini sesuai keinginan MatinroE ri Madello semasa hidupnya agar Enci Camummu yang diambil sebagai Sule Datu anak dari La Majuna MatinroE ri Salassana.
La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng lahir pada tanggal 3 November 1672 M. Diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1698 M. dan digelar dengan nama Sultan Muhammad Idris Adimuddin.
Oleh pamannya La Tenri Tatta Petta To RisompaE, La Patau Matanna Tikka dikawinkan dengan We Ummung Datu Larompong anak dari PajungE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Batari Toja Daeng Talaga. Inilah yang menjadi Arung Timurung juga sebagai Datu di Citta. Anak berikutnya adalah We Patimana Ware, inilah yang menjadi Datu Larompong. Oleh karena itu dinamakanlah Opu Datu Larompong MatinroE ri Bola Ukina.
Karena We Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone, Datu Luwu dan Soppeng, maka Akkarungeng Timurung diserahkan kepada adiknya We Patimana Ware. Oleh karena itu We Patimana Ware lagi yang menjadi Arung Timurung.
We Patimana Ware kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumanga Daeng Soreang. Melahirkan tiga orang anak We Wale Daeng Matajang, We Manneng Daeng Masiang dan We Amira.
Dalam tahun 1687 M. La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi oleh pamannya Petta To RisompaE di Tanah Mangkasar, yaitu We Mariama Karaeng Patukangan anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung. Dari perkawinannya itu melahirkan empat anak, satu perempuan dan tiga laki-laki.Anaknya yang perempuan bernama We Yanebana I Dapattola meninggal sebelum menikah. Adapun anaknya yang laki-laki yaitu La Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.
Anak La Patau Matanna Tikka dari isterinya yang keempat yaitu Datu Baringeng dianggap juga sebagai putra mahkota yaitu La Temmassonge’ atau La Mappasossong To Appaweling. Tetapi karena lahir setelah Torisompae meninggal, sehingga oleh saudara-saudaranya hanya dianggap sebagai anak cera’. Artinya nanti bisa menduduki akkarungeng (Mangkau’ atau Datu) setelah putra mahkota yang lainnya sudah tidak ada.
Mulai dari ManurungE ri Matajang sampai kepada La Patau Matanna Tikka berlaku suatu tradisi bahwa – tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE.
La Patau Matanna Tikka kawin lagi dengan We Rakiyah di Bantaeng. Dari perkawinannya itu melahirkan dua anak perempuan dan empat anak laki-laki. Yang perempuan bernama We Tabacina meninggal dimasa kecil begitu juga berikutnya. Sedangkan yang laki-laki masing-masing bernama ; La Pauseri To Malimongeng, La Massettuang To Ape, La Massangirang To Patawari, La Makkarumpa meninggal diwaktu kecil.
Selanjutnya La Patau kawin lagi dengan We Biba To UnynyiE.Melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama La Tangkilang, meninggal diwaktu kecil. Kemudian kawin dengan We Maisa To Lemoape’E, melahirkan dua anak yaitu La Madditudang To Parellei, yang satunya meninggal setelah lahir. Selanjutnya kawin dengan We Lette To BaloE, mekahirkan seorang anak perempuan nama We Celai.
Isteri-isteri La Patau Matanna Tikka yang dikawini tidak secara langsung, artinya hanya diwakili oleh orang lain, atau tombaknya, kerisnya, cere’nya, tempat sirih dan sebagainya. Mereka itu adalah ; We Sanging To Buki’E melahirkan seorang anak perempuan bernama We Cikondo, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya We Sisa melahirkan We Maragellu I Damalaka . Kemudian kawin lagi dengan We Sitti di Palakka melahirkan La Pawakkari To Appasalle, meninggal diwaktu kecil. Isteri selanjutnya bernama We Naja To SogaE melahirkan seorang anak bernama La WangiE. Kemudian isterinya yang keenam bernama We Saiyo, tidak melahirkan anak.
Isteri yang berikutnya bernama We Cimpau melahirkan seorang anak bernama La Mappaconga, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya bernama We Baya To BukakaE melahirkan anak laki-laki bernama La Tongeng Datu Laisu. Inilah yang menggantikan saudara ayahnya menjadi Datu Soppeng. Ini pula yang kawin dengan Datu Mario Riawa dan melahirkan anak laki-laki bernama La Mappaiyyo.
La Mappaiyyo kawin di Pammana dengan perempuan yang bernama We Tenri Dio anak dari La Gau Arung Maiwa Datu Pammana yang juga sebagai Pilla di Wajo dengan isterinya yang bernama We Tenri Yabang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne. La Mappaiyyo inilah yang dibunuh oleh iparnya yang bernama La Dolo (La Tenri Dolo), karena sifatnya tidak akan menuruti perintah iparnya. Pembunuhan terhadap La Mappaiyyo membuat La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng marah besar dan mencari La Tenri Dolo untuk melakukan pembalasan.
Oleh karena itu La Tenri Dolo melarikan diri ke Kamboja dan akhirnya kawin dengan anak Raja Kamboja disana. Dari perkawinannya dengan anak Raja Kamboja, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ambaralana. Selanjutnya Ambaralana melahirkan Raja Sitti yang kawin di India. Inilah yang melahirkan Nonci, orang kayanya Islam di Singapura.
Isteri selanjutnya bernama We Sitti melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Benni. Inilah yang kawin dengan La Mattugengkeng Daeng Mamaro Ponggawa Bone. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenriawaru Arung Lempang yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Temmassonge’.
Isteri berikutnya E Saira Karobba satu anaknya bernama E Jalling. Selanjutnya isteri kesebelas bernama E Sanrang orang Soppeng melahirkan satu anak perempuan meninggal diwaktu kecil.
Isteri La Patau Matanna Tikka yang berikut adalah E Yati, satu anaknya perempuan bernama E Kima. Selanjutnya yang bernama E Rupi, satu anaknya tapi meninggal setelah lahir.
La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng memiliki anak pattola (putra mahkota) dua di Luwu dari isterinya bernama We Ummung Datu Larompong yakni ; Batari Toja Daeng Talaga dan We Patimana Ware. Sedangkan dari isterinya di Gowa yang bernama We Mariama Karaeng Pattukkangang memiliki lima anak. Tetapi hanya tiga yang dianggap mattola, yakni ; La Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.
La Temmassonge’ anak Datu Baringeng adalah – ana’ sengngeng mallinrungngi ri ana’ mattolaE (putra mahkota yang terselubung) karena dia dilahirkan setelah Petta To RisompaE meninggal dunia. Oleh karena itu, La Temmassonge’ dikatakan – cera’i rimannessaE, sengngengi ri mallinrungE. Artinya yang diketahui oleh orang banyak dia hanyalah anak cera’ (bukan putra mahkota), tetapi sesungguhnya dia adalah anak sengngeng (putra mahkota). Tidak satupun saudaranya yang mengetahui kalau La Temmassonge’ itu adalah juga putra mahkota, kecuali Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna.
Selain itu, La Patau memiliki 29 anak cera’ dan anak rajeng. Tetapi kesemua itu tidak memiliki hak untuk mewarisi kedudukan ayahnya sebagai Arumpone.
Arumpone La Patau Matanna Tikka dikenal sebagai seorang Mangkau’ yang sangat menghargai adat istiadat. Ia sangat tidak senang kalau kebiasaan-kebiasan yang berlaku dalam masyarakat diubah. Dia sangat membenci orang yang suka mengisap madat (candu) dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat. Dua anaknya yang disuruh bunuh karena memiliki kesenangan mengisap madat.
Dengan demikian pada masa pemerintahannya di Bone, semua adat istiadat berjalan dengan baik. Tidak seorangpun yang berani melanggar, sebab sedangkan anak sendirinya disuruh bunuh kalau melakukan pelanggaran. Dia tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri.
Dimasa pemerintahannya, dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa yang berarti melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 M. ketika Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Untung saja sebelum perang berkobar, Kompeni Belanda cepat-cepat turun tangan dengan menenangkan kedua belah pihak.
Kedua , yaitu pada tahun 1709 M. ketika La Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri yang dikenal tidak memandang bulu, maka La Padassajati To Appaware melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada neneknya.
Karena permintaan Arumpone bersama Hadat Tujuh Bone agar La Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum.
Sementara rencana perang antara Bone dengan Gowa menunggu saat yang tepat untuk dimulai, tiba-tiba KaraengE ri Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau Matanna Tikka menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Hal inipun langsung ditengahi oleh Kompeni Belanda, sehingga perang antara Bone dengan Gowa yang berarti perang antara anak dengan ayah dapat dihindari.
La Patau Matanna Tikka pulalah yang pertama mengangkat Matowa bagi orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang ada yang memimpinnya dan melihat keadaan sehari-harinya. Pada waktu itu La Patau Matanna Tikka disamping sebagai Mangkau’ di Bone, juga sebagai Ranreng Towa di Wajo. Orang yang diangkat sebagai Matowa adalah La Patelleng Amanna Gappa. Makanya La Patelleng Amanna Gappa dinamakan Matowa Wajo.
Dalam tahun 1714 M. Arumpone La Patau Matanna Tikka membuka arena penyabungan ayam dan mengundang seluruh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo). Datanglah Arung Matowa Wajo yang bernama La Salewangeng To Tenri Ruwa yang mengikutkan kemanakannya yang bernama La Maddukkelleng Daeng Simpuang Puanna La Tobo Arung Peneki. Arung Matowa Wajo yang bertaruh ayam dengan orang Bone dan ayam Arung Matowa Wajo sempat membunuh ayam orang Bone.
Karena pengawal Arumpone merasa malu, tiba-tiba seorang anak bangsawan Bone mengambil bangkai ayam tersebut dan melemparkan ketengah kelompok orang Wajo. Bangkai ayam tersebut kebetulan mengenai Arung Matowa Wajo yang berada ditengah-tengah orang Wajo. Hal ini membuat La Maddukkelleng marah dan mengamuk. Dengan mata gelap, ia memburu dan menikam orang yang melemparkan bangkai ayam tersebut sampai meninggal ditempat. Setelah itu, La Maddukkelleng melarikan diri kembali ke Wajo.
Beberapa hari kemudian, pergilah utusan Bone untuk meminta kepada Arung Matowa Wajo agar La Maddukkelleng diserahkan ke Bone. Kepada utusan Bone, Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng telah menyeberang ke Kalimantan. Sejak itulah La Maddukkelleng menetap di Kalimantan dan menjadi Arung di Pasir. Untuk kembali ke Wajo, memang sangat sulit. Sebab selalu ditunggu oleh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk dihukum.
Dalam tahun 1714 M. itu pula La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang Sultan Idris Alimuddin meninggal dunia di Nagauleng Cenrana. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Nagauleng.

RAJA BONE 17
Batari Toja Daeng Talaga Matinro-E ri Tippuluna (1714–1715)
Batari Toja Daeng Talaga menggantikan ayahnya La Patau Matanna Tikka menjadi Mangkau’; di Bone, karena dialah yang dipesankan oleh ayahnya sebelum meninggal dunia. Disamping sebagai Arumpone, Batari Toja juga sebagai Datu Luwu dan Datu Soppeng. Sebelumnya Batari Toja diangkat sebagai Arung Timurung, nanti setelah diangkat menjadi Arumpone, barulah Timurung diserahkan kepada adiknya yang bernama We Patimana Ware. We Patimana Ware inilah disamping sebagai Arung Timurung, juga sebagai Datu Citta.
Batari Toja diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 17 Oktober 1704 M. dan diberi gelar Sultanah Zaenab Zakiyatuddin. Batari Toja kawin dengan Sultan Sumbawa yang bernama Mas Madinah. Tetapi perkawinan itu tidak berlangsung lama akhirnya bercerai sebelum melahirkan anak. Perkawinan ini memang hanya memenuhi pesan La Tenri Tatta Petta To RisompaE semasa hidupnya yang menghendaki Batari Toja dikawinkan dengan Sultan Sumbawa Mas Madinah.Batari Toja resmi diceraikan oleh Mas Madinah pada tanggal 27 Mei 1708 M.
Sultan Sumbawa kemudian kawin di Sidenreng dengan perempuan yang bernama I Rakiyah Karaeng Agangjenne. Perkawinannya itu membuat Batari Toja marah, I Rakiyah dikeluarkan sebagai Karaeng Agangjenne, sehingga pergi ke Sumbawa bersama suaminya. Perkawinan I Rakiyah dengan Sultan Sumbawa Mas Madinah melahirkan seorang anak perempuan yang bernama I Sugiratu. Karaeng Agangjenne adalah anak mattola (pewaris) dari La Malewai Arung Berru. I Rakiyah Karaeng Agangjenne adalah anak dari La Malewai Arung Berru Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama I Sabaro anak Karaeng Karunrung Tu Mammenanga ri Ujungtana.
Batari Toja Daeng Talaga lahir pada tahun 1668 M. kemudian diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 19 September 1714 M. Karena pada saat itu banyak upaya-upaya dari orang lain untuk menghalanginya, maka Batari Toja menyerahkan kepada saudaranya yang berada di Gowa. Batari Toja minta perlindungan kepada saudaranya yaitu La Pareppai To Sappewali SombaE ri Gowa . Sementara akkarungengE ri Bone diserahkan kepada saudaranya yang bernama La Padassajati To Appamole Arung Palakka.
La Padassajati disetujui oleh Adat bersama Arung PituE untuk menjadi Arumpone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga.

RAJA BONE 18
La Padassajati To Appaware (1715–1718)
La Padassajati To Appaware adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dengan isterinya We Mariama Karaeng Pattukangang. Ketika La Patau menjadi Mangkau’ di Bone, La Padassajati To Appaware membuat kesalahan besar dengan hukuman yang sangat berat.
Karena dia takut kepada ayahnya yang dikenal sangat menjunjung tinggi adat serta tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum, maka La Padassajati melarikan diri ke Gowa. Di sana ia minta perlindungan kepada neneknya KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu La Patau Matanna Tikka minta kepada KaraengE ri Gowa untuk mengembalikan La Padassajati ke Bone untuk diadili oleh adat. Tetapi KaraengE ri Gowa tidak sampai hati untuk memberikan cucunya itu untuk menjalani hukuman berat di Bone. Hal ini membuat hubungan antara Bone dengan Gowa menjadi tegang dan nyaris menimbulkan peperangan.
Untung Kompeni Belanda cepat-cepat menengahinya. Karena La Patau Matanna Tikka sudah bertegas untuk memberi tindakan tegas kepada Gowa kalau anaknya itu tidak dikembalikan ke Bone untuk menjalani hukuman. Sementara Karaeng E ri Gowa juga bertegas untuk tidak akan memberikan cucunya itu.
Setelah ayahnya meninggal dunia, barulah La Padassajati kembali ke Bone. Batari Tojalah yang mengembalikan adiknya itu ke Bone yang kemudian memberinya akkarungeng (Mangkau’) di Bone dan Datu Soppeng pada tanggal 14 Oktober 1715 M.
Adapun kesalahan yang dilakukan La Padassajati pada masa pemerintahan ayahnya adalah dia menyuruh untuk membunuh Arung Ujumpulu Datu Lamuru yang bernama La Cella anak dari La Malewai Arung Ujumpulu Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Tana MaridiE dengan isterinya yang bernama We Karoro Datu Lamuru. La Padassajati menyuruh orang mencekiknya sampai mati.
Tindakan La Padassajati ini membuat TellumpoccoE marah dan disuruh tangkaplah La Padassajati untuk dijatuhi hukuman. Untuk menghindari hukuman tersebut La Padassajati disuruh mengungsi ke Beula. Di sanalah ia meninggal dunia sehingga digelar MatinroE ri Beula.

RAJA BONE 19
La Pareppai To Sappewali (1718–1721)
La Pareppai To Sappewali menggantikan saudaranya La Padassajati menjadi Mangkau’ di Bone. Inilah anak tertua dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Pattukangang.
La Pareppai To Sappewali di samping sebagai Arumpone, dia juga sebagai Somba ri Gowa dan Datu di Soppeng. Dia menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa pada tahun 1709 M. Dia pula diberi nama Sultan Ismail yang disebut dalam khutbah Jumat.
Ketika menjadi Karaeng ri Gowa, ia bermusuhan dengan ayahnya. Tetapi permusuhan tersebut berakhir dengan kekalahan Gowa dari serangan Bone.
Karena La Pareppai To Sappewali kelihatannya tidak terlalu menguasai pemerintahan, maka pada tahun 1711 M. dia meletakkan Akkarungeng di Gowa, Bone dan Soppeng. Ketika ia meninggal dinamakan MatinroE ri Somba Opu.
Anaknya kawin dengan We Gumittiri yang melahirkan La Muanneng yang kemudian menjadi Arung Pattiro. La Muanneng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Pakkemme’ Arung Majang, anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang bernama Sitti Habiba.
La Muanneng dengan We Tenri Pakkemme’ melahirkan anak yang bernama La Pajarungi Daeng Mallalengi Arung Majang. La Pajarungi kawin dengan Satari, eppo uttuna (cicit) La Tenri Gora Arung Majang, yang kemudian melahirkan La Berahima Daeng Mallongi.
Selanjutnya La Muanneng dengan We Gumittiri juga melahirkan La Massellomo yang menjadi Ponggawa Bone, yang kelak kemudian digelari Ponggawa Bone LaoE ri Luwu. La Massellomo kawin dengan Petta ri Batu Pute, melahirkan anak laki-laki yang bernama La Massompongeng, inilah yang menjadi Arung Amali.
Kamudian La Massellomo kawin lagi dengan We Camendini Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappesangka Daeng Makkuling. Inilah yang kawin dengan Besse Tanete Karaeng Bulukumba.
Selanjutnya La Massellomo kawin lagi dengan Arung Tajong. Dari perkawinannya ini lahir La Mappapenning To Appaimeng Daeng Makkuling. Kawin dengan sepupu satu kali ayahnya yang bernama I Mida Arung Takalara anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo, We Yallu Arung Apala, We Oja dan We Banrigau.
Adapun saudara perempuan La Massellomo bernama We Senradatu Sitti Amira Arung Palakka MatinroE ri Lanna. Inilah yang kawin di Mangkasar dengan Makasuma yang kemudian melahirkan I Sugiratu. Karena bercerai dengan Makasuma, maka kawin lagi dan melahirkan We Besse Karaeng Leppangeng. Dengan demikian I Sugiratu dengan We Besse Karaeng Leppangeng bersaudara, tetapi lain ayahnya.
I Sugiratu kawin dengan Arung Ujung anak dari To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi dengan isterinya yang bernama Karaeng Pabbineya. Dari perkawinan itu, lahirlah La Umpu Arung Teko. Selanjutnya We Besse Karaeng Leppangeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Massompongeng Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Rukiyah.
We Rukiyah kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Umpu Arung Teko yang juga sebagai Arung Ujung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Bau Arung Kaju. Kemudian We Bau kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Mappasessu Arung Palakka anak dari La Tenri Tappu dengan isterinya We Padauleng Arung Timurung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Baego Arung Macege.
We Besse kemudian kawin lagi dengan To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE. Dari perkawinan yang kedua ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama To Appasawe Arung Berru. To Appasawe inilah yang kawin dengan Arung Paopao yang bernama Hatijah, anak dari La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama Sitti Abiba. To Appasawe dengan Arung Paopao melahirkan anak laki-laki bernama Sumange’ Rukka To Patarai.
Sumange’ Rukka To Patarai kawin dengan anak sepupunya yang bernama We Baego Arung Macege, anak dari We Bau Arung Kaju dengan suaminya yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinan Sumange’ Rukka dengan We Baego Arung Macege, lahirlah We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
La Pareppai To Sappewali meninggal dunia di Somba Opu, makanya dinamakan MatinroE ri Somba Opu. Digantikan oleh saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi menjadi Mangkau’ di Bone.

RAJA BONE 20
La Panaongi To Pawawoi (1721–1724)
Dengan diangkatnya La Panaongi To Pawawoi sebagai Arumpone menggantikan saudaranya, maka telah tiga bersaudara dari isteri La Patau Matanna Tikka yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang yang menjadi Mangkau’ di Bone dan juga Datu di Soppeng. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Panaongi To Pawawoi dikenal sebagai Arumpone yang berhati jernih dan dicintai oleh rakyatnya.
La Panaongi kawin dengan We Sitti Hawang Daeng Masennang, anak dari To Ujama. Dari perkawinan itu, lahirlah La Page Arung Mampu yang juga sebagai Arung Malolo di Bone. Ketika masih kecil, La Panaongi dipelihara oleh neneknya yang bernama La Pariusi Daeng Manyampa Arung Mampu yang juga sebagai Arung Matowa Wajo MatinroE ri Buluna. Pada saat itulah dia diwariskan oleh neneknya Akkarungeng ri Mampu, Sijelling dan Amali. Oleh karena itu sebelum menjadi Arumpone La Panaongi To Pawawoi telah dikenal sebagai Arung Mampu, Arung Sijelling dan Arung Amali.
Anak La Panaongi To Pawawoi dari isterinya We Sitti Hawang yang bernama La Page Arung Mampu Arung Malolo bi Bone, kawin dengan We Cenra Arung Bakung. Dari perkawinan itu lahirlah dua anak laki-laki, yang pertama bernama La Maddussila Arung Mampu, kedua bernama La Pasampoi Arung Kading.
Kemudian La Page Arung Mampu Arung Malolo di Bone kawin lagi dengan We Saloge Arung Weteng. Dari perkawinan itu, lahirlah La Mappaware Arung Tompo’bulu, La Mappangara Arung Sinri To Marilaleng Bone Pawelaiye ri SessoE, dan We Masi Arung Weteng.
We Masi kawin dengan To Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Dari perlawinannya itu, lahir dua anak laki-laki bernama La Mappaware Arung Tompo’bulu dan La Mappangara Arung Sinri, inilah yang menjadi To Marilaleng Pawelaiye ri SessoE.
La Mappangara Arung Sinri, inilah yang melahirkan Haji Abdul Razak seorang ulama’ besar yang memiliki ilmu agama Islam yang sangat luas saat itu. Untuk lebih memperdalam ilmu yang dimilikinya, Haji Abdul Razak mengunjungi seorang ulama’ ahli tasauf di Berru yang bernama Haji Kalula (Haji Muhammad Fadael). Tarekat yang dipelajari dari Haji Kalula tersebut adalah Tarekat Khalwatiyah.
Ketika ulama besar Tarekat Khalwatiyah yang bernama Haji Kalula meninggal dunia, digantikanlah oleh Haji Abdul Razak sebagai ulama’ besar (Anre Guru Lompo). Selanjutnya setelah Haji Abdul Razak meninggal dunia, maka Anre Guru Lompo Tarekat Khalwatiyah beralih lagi kepada anaknya yang bernama Haji Abdullah. Ketika Haji Muhammad Abdullah meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1967 M. digantikan lagi oleh anaknya yang bernama Haji Muhammad Saleh Daeng Situru. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama Haji Muhammad Amin Daeng Manaba.
Beralih kepada To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE yang bernama To Tenri, anak dari We Maisuri dengan suaminya Petta Tobala, Petta PakkanynyarangE Jennang Bone. Sementara We Maisuri adalah anak dari We Daompo dengan suaminya La Uncu Arung Paijo. Sedangkan Tobala Petta PakkanynyarangE adalah anak dari Ponggawa DinruE ri Bone. We Daompo dengan Ponggawa DinruE ri Bone bersaudara kandung, keduanya adalah anak dari MatinroE ri Bukaka.
Dalam tahun 1724 M. La Panaongi meletakkan AkkarungengE ri Bone dan Soppeng, digantikan kembali oleh saudaranya dari Luwu yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Dengan demikian, Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone untuk kedua kalinya.


RAJA BONE 21
Batari Toja Daeng Talaga (1724–1749)
Batari Toja Daeng Talaga kembali menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi. Disamping kembali menjadi Mangkau’ di Bone, Batari Toja juga kembali menjadi Datu di Luwu dan Soppeng.
Batari Toja kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Oki yang tinggal di Ajattappareng. Akan tetapi La Paulangi Petta Janggo’E sepupu satu kali La Oki mengawinkan dengan anaknya yang bernama We Tungke. Oleh karena itu, Batari Toja membatalkan perkawinannya dengan La Oki. Pada tahun 1716 M. Batari Toja kawin dengan Arung Kaju yang bernama Daeng Mamutu.
Karena Batari Toja sangat dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.
Setelah Batari Toja mengetahui maksud jahat dari suaminya itu, iapun segera menceraikan suaminya tersebut. Bahkan mantan suaminya tersebut diusir untuk meninggalkan Bone.
Dalam tahun 1735 M. La Maddukkelleng Arung Peneki yang juga sebagai Sultan Pasir di Kalimantan berniat untuk kembali ke negerinya di Peneki. Tetapi pada saat itu, La Maddukkelleng belum bisa menginjakkan kakinya di wilayah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) karena kesalahan yang pernah diperbuatnya. Pada saat itu, Wajo masih merupakan wilayah kekuasan Bone yang ditaklukkan pada masa pemerintahan La Tenri Tatta Arung Palakka MaloampeE Gemme’na. Sedangkan La Maddukkelleng meninggalkan Wajo dan lari ke Kalimantan karena memperbuat kesalahan terhadap Bone pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka.
Arung Kaju mantan suami Batari Toja yang diusir untuk meninggalkan Bone, pergi ke Tanah Mandar bersama Karaeng Bonto Langhkasa menunggu kedatangan La Maddukkelleng dari Tanah Pasir Kalimantan. Karaeng Bonto Langkasa juga tidak senang dengan KaraengE ri Gowa karena dinilai sangat dekat dengan Kompeni Belanda sebagaimana Batari Toja. Dengan demikian, Arung Kaju menjalin kerja sama dengan Karaeng Bonto Langkasa dan La Maddukkelleng. Kerja sama tersebut bermaksud untuk melepaskan Wajo dari kekuasan Bone.
Sementara Karaeng Bonto Langkasa ingin menghilangkan pengaruh Kompeni Belanda di Gowa dan Bone, sehingga menjalin kerja sama dengan Arung Kaju Daeng Mamutu yang memang berniat merebut kekuasan dari mantan isterinya Batari Toja Daeng Talaga.
Adapun Arumpone Batari Toja setelah mengetahui bahwa La Maddukkelleng telah mendarat di Wajo, berangkatlah ke Ujungpandang untuk berlindung pada Kompeni Belanda. Diserbulah Bone oleh pasukan La Maddukkelleng, ada juga rombongan Karaeng Bonto Langkasa dan Arung Kaju yang menghasut orang Bone untuk melawan Arumpone.
Setelah membumi hanguskan Bone, La Maddukkelleng meminta kembali – sebbukatina (persembahan) Wajo yang pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Petta To RisompaE. Maka kembalilah Wajo menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Bone. Diangkatlah La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo menggantikan pamannya.
Pergilah La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo ke Gowa untuk memanggil Sitti Napisa Karaeng Langelo We Denradatu saudara KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallawangeng Gau Sultan Abdul Khair untuk diangkat menjadi Arumpone. Akan tetapi ditolak oleh orang Bone, maka pergilah Karaeng Langelo ke Wajo dan tinggal di rumah La Maddukkelleng.
Selain itu datang pula La Oddang Riwu Karaeng Tanete bersama pasukannya bermaksud pula menjadi Arung di Bone. Akan tetapi tidak disetujui oleh Kompeni Belanda dan KaraengE ri Gowa. Juga tidak diterima oleh Adat Bone.
Oleh karena itu dikembalikanlah Batari Toja ke Bone untuk menjadi Arumpone berdasarkan keinginan Arung PituE (Adat) di Bone. Setelah kembali ke Bone, Batari Toja menyuruh Kadhi Bone yang bernama Abdul Rasyid ke Tanah Mandar memanggil La Pamessangi untuk menjadi Arung di Belawa Orai, Alitta dan Suppa yang pernah diusir oleh KaraengE ri Gowa.
Ketika sampai di Mandar, Kadhi Bone Abdul Rasyid menyampaikan kepada La Pamessangi bahwa dia disuruh oleh Arumpone Batari Toja memanggil kembali ke Bone untuk kembali menjadi Arung di Belawa Orai, Suppa dan Alitta. Penyampaian itu dibenarkan oleh Matowa Belawa yang menyertai Kadhi Bone ke Balannipa menemui La Pamessangi.
La Pamessangi kembali ke Bone bersama Kadhi Bone. Ia mendarat di JampuE dan disambut oleh Pabbicara Suppa. Pada sat itu La Pamessangi menyuruh anaknya yang bernama La Sangka untuk tinggal menjadi Datu di Suppa. Setelah bermalam tiga malam di Suppa, datanglah orang Alitta bersama Pabbicara Suppa di Alitta untuk menemuinya. Lalu La Pamessangi menyuruh lagi anaknya yang bernama La Posi untuk menjadi Arung di Alitta. Tiga malam di Alitta baru pergi di Belawa. Setelah bermalam satu malam di Belawa datanglah semua orang Belawa, orang Wattang, orang Timoreng memberi ucapan selamat ditandai dengan pemberian 10 gantang beras untuk satu kampung.
Setelah empat malam di Belawa dikumpulkanlah orang Belawa dan menyampaikan bahwa La Raga yang akan diangkat menjadi Arung di WattangE. Hal ini disetujui oleh orang Belawa, berdirilah MatowaE sambil berkata ;
”Dengarkanlah wahai orang Belawa bahwa La Raga kita angkat sebagai Arung ri Belawa”.
Sesudah diserahkan AkkarungengE ri Belawa kepada La Raga, Petta MatowaE bersama Kadhi Bone melanjutkan perjalanannya ke Bone.
Ketika Batari Toja berusia tua dan kelihatan semakin lemah, Adat bertanya kepadanya tentang siapa nantinya yang bakal menggantikannya untuk melanjutkan pemerintahannya di Bone. Lalu Batari Toja menunjuk saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng Ponggawa Bone. Mendengar itu, Arung Kaju berkata ;Tennakkarungi cera’ TanaE ri Bone, tennatola rajeng akkarungengE ri Bone” (Yang bukan putra mahkota tidak bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, sedangkan Mangkau’E ri Bone tidak bisa digantikan oleh orang yang kebangsawanannya hanya dari ayah).
Karena merasa tersinggung dengan kata-kata Arung Kaju, La Temmassonge’ menunggu Arung Kaju didekat tangga dan menikamnya sehingga meninggal dunia. Kematian Arung Kaju dikomentari oleh Arumpone Batari Toja bahwa lantaran mulutnya Arung Kaju yang mengatakan La Temmassonge’ hanyalah cera’ sehingga dia meninggal dunia.
Dalam tahun 1749 M. Batari Toja Daeng Talaga meninggal dunia di TippuluE sehingga dinamakan MatinroE ri Tippulunna. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng.

RAJA BONE 22
La Temmassonge To Appaweling (1749–1775)
La Temmassonge To Appaweling nama kecilnya adalah La Mappasossong. Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga, ia telah menjadi Arung Baringeng dan Ponggawa Bone. Disamping itu ia pernah pula menjadi Tomarilaleng di Bone pada masa pemerintahan Batari Toja.
Dia adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng Arumpone yang ke 16 yang menggantikan pamannya La Tenri Tatta MalampeE Gemme’na. Menurut garis keturunannya, dia bukanlah putra mahkota ( anak pattola ) karena ibunya bukan-lah Arung Makkunrai (permaisuri). Oleh karena itu La Temassonge’ hanyalah dipandang sebagi cera’ rimannessaE – sengngengngi ri mallinrungE. Artinya pada kenyataannya dia adalah anak cera’, tetapi sesungguhnya adalah anak sengngeng (putra mahkota).
Hal ini terjadi karena hanya dua isteri La Patau Matanna Tikka yang diakui sebagai permaisuri, yakni; We Ummung Datu Larompong dari Luwu dan We Mariama Karaeng Patukangang dari Gowa. Sementara ibu La Temmassonge’ walaupun dia adalah keturunan bangsawan tinggi, tetapi tidak termasuk sebagai Arung Makkunrai, sehingga La Temmassonge’ hanya dianggap sebagai cera’.
Tetapi karena putra mahkota sudah tidak ada lagi yang bisa diangkat sebagai Mangkau di Bone pada saat itu, maka pilihan dialihkan kepada La Temmassonge’ untuk diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna. Posisi La Temmassonge’ sebagai cera ri mannessaE – sengngengngi ri mallinrungE , hanya diketahui oleh saudaranya Batari Toja. Dengan demikian, sebelum meninggal dunia, Batari Toja telah berpesan bahwa yang bakal menggantikannya kelak adalah La Temmassonge’ To Appaweling.
Pada saat-saat terakhir Batari Toja dia dirawat oleh La Temmassonge’ karena Batari Toja menganggap bahwa La Temmassonge’adalah saudaranya yang paling dekat.Itulah sebabnya sehingga banyak putra bangsawan Bone yang menganggap bahwa La Temmassonge’ tidak pantas untuk diangkat menjadi Arumpone, terutama keluarga Arung Kaju yang pernah dibunuhnya. Itu pula sebabnya sehingga Akkarungeng La Temmassonge’ di Bone terkatung-katung sejak tahun 1749 M. dan nantilah pada tahun 1752 M. baru dilantik sebagai Arumpone.
Untuk itu La Temmassonge’ minta dukungan Kompeni Belanda di Ujungpandang agar kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone bisa dikukuhkan. Datang pula Arung Berru dan Addatuang Sidenreng meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda di Makassar agar kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone segera dikukuhkan.
Karena desakan Arung Berru dan Addatuang Sidenreng yang bernama To Appo, yang kemudian didukung oleh Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Asmaun, maka para anggota Hadat Bone kembali menerima La Temmassonge sebagai Mangkau’ di Bone, dan dikukuhkan pada tahun 1752 M.
Adapun isteri La Temmassonge’ yang diakui sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah anak dari Maulana Muhammad dengan isterinya. Datu Rappeng. We Mommo Sitti Aisah adalah cucu langsung dari Seikh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.
Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Asmaun masuk ke Bone untuk menenangkan situasi dan setelah semua permasalahan dianggap selesai dan kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone dianggap aman, upaya-upaya untuk merebut kekuasan terhadap La Temmassonge’ telah tidak ada, barulah Pembesar Kompeni Belanda membenarkan La Temmassonge’ untuk menetap di Bone.
Disamping sebagai Mangkau’ di Bone, La Temmassonge’ juga dikenal sebagai Datu di Soppeng. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Abdul Razak Jalaluddin. La Temmassonge’ memang dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan sangat patuh dalam beribadah.
La Temmassonge’ dikenal sebagai Mangkau di Bone yang memiliki banyak anak.Dalam catatan terdapat kurang lebih 80 dengan jumlah isteri yang tidak sempat dihitung. Namun isteri yang dianggapnya sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah cucu dari Tuanta Salamaka ri Gowa.
Adapun anak-anak dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah; La Baloso To Akkaottong, inilah yang menjadi Maddanreng di Bone. La Baloso kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang anak dari saudara perempuan ayahnya. Dari perkawinan La Baloso dengan We Tenriawaru Arung Lempang, lahirlah La Sibengngareng dan inilah yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
Satu lagi anaknya bernama La Cuwa Arung Lempang, selanjutnya bernama La Balo Ponggawa Pelaiyengi Pattimpa. Berikutnya bernama We Daraima dan We Maukati. Inilah yang kawin dengan La Sau Arung Kalibbong. Selanjutnya bernama We Tenripappa MajjumbaE , inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. La Maddinra Arung Rappeng adalah anak saudara La Baloso yang bernama La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro dari isterinya yang bernama We Tenri Ona Arung Rappeng.
Dari perkawinan We Tenripappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng Betti’E lahirlah We Tenri. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La Gau’ Arung Pattojo Ponggawa Bone, We Tenri Pasabbi Arung Rappeng, La Palettei Ponggawa Bone, La Wawo, La Mappajanci, We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, La Massalewe, We Pana dan We Sompa Arung Baleng.
We Tenri Pasabbi Arung Gilireng kawin dengan To Allomo CakkuridiE di Wajo. Dari perkawinan itu lahirlah La Tulu CakkuridiE di Wajo. Berikutnya We Maddilu Arung Bakung, inilah yang kawin dengan La Kuneng Addatuang ri Suppa Arung Belawa Orai. Dari perkawinan itu lahirlah ; We Time Addatuang Sawitto, We Cinde Addatuang Sawitto MatinroE ri Polejiwa, La Cibu Ponggawa Bone Addatuang Sawitto, La Tenri Lengka Datu Suppa, We Maddika atau We Tenri Lippu Daeng Matana Arung Kaju, We Pada Uleng Arung Makkunrai MatinroE ri Sao Denrana dan Muhammad Saleh Arung Sijelling dan sebagai Arung Alitta.
Selanjutnya adik We Maddilu Arung Bakung adalah We Padauleng atau We Tenri Pada , kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo.
Kemudian anak La Temmassonge’ yang merupakan adik dari La Baloso adalah We Pakkemme, inilah yang menjadi Arung Majang. We Pakkemme kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Muanneng Arung Pattiro, anak dari La Pareppai To Sappewali MatinroE ri Somba Opu dengan isterinya yang bernama We Gumittiri.
Berikutnya adik We Pakkemme adalah We Tenri Olle, inilah yang menjadi Datu Bolli. We Tenri Olle kawin dengan La Mappajanci Daeng Massuro Datu Soppeng. Oleh karena itu La Mappajanci disebut juga sebagai PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung. La Mappajanci Datu Soppeng adalah anak dari PajungE ri Luwu yang bernama La Mappassili Arung Pattojo MatinroE ri Duninna.
We Tenri Olle dengan La Mappajanci melahirkan anak yang bernama La Mappapole Onro, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Berikutnya bernama We Tenri Ampareng Arung Lapajung, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Barugana.
Adik We Tenri Olle adalah We Rana, inilah yang menjadi Ranreng Towa di Wajo. Kawin dengan La Toto Arung Pallekoreng, anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama I Yabang. Dari perkawinan itu lahirlah Sitti Hudaiya Ranreng Towa Wajo. Inilah yang kawin dengan La Tenri Dolo Arung Telle. Selanjutnya lahir Amirah Ranreng Towa Wajo.
Amirah kawin dengan La Pabeangi Petta TurubelaE anak dari We Tungke MajjumbaE dengan suaminya yang bernama La Cella Patola Wajo. Dari perkawinan Amirah dengan La Pabeangi, lahirlah We Panangareng Arung Tempe Selatan. Selanjutnya La Pawellangi PajumperoE Ranreng Tuwa dan Arung Matowa Wajo.
Selanjutnya adik dari We Rana adalah We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. We Hamidah kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapenning Daeng Makkuling Ponggawa Bone MatinroE ri Tasi’na. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu kawin dengan We Tenri Pada atau We Padauleng anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya We Tenriawaru Arung Lempang. Adik La Tenri Tappu adalah We Yallu Arung Apala. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya La Unru Datu Pattiro, La Mata Esso, We Dende dan We Tenri Kaware Arung Balusu.
Karena We Mommo Sitti Aisah meninggal dunia, maka Arumpone La Temmassonge mengawini adiknya yang bernama Sitti Habiba. Dari perkawinannya itu, lahirlah; La Massarasa Arung Pallengoreng, La Palaguna Arung Nangka dan juga Arung Ugi serta Dulung Awang Tangka. Anak La Palaguna kemudian menjadi Arung Lamatti.
Berikutnya bernama La Patonangi atau La Tone, inilah yang menjadi Arung Amali. La Patonangi kawin dengan We Kamummu Arung Bungkasa. Anak berikutnya berada di Luwu yang bernama La Makkasau Arung Kera juga sebagai Dulung Pitumpanuwa. La Makkasau kawin dengan We Kambo Opu Daeng Patiware anak dari We Tenriwale Daeng Matajang MatinroE ri Limpo Paccing dengan suaminya yang bernama La Tenri Tadang Pallempa Walenrang. Ini adalah cucu dari We Patimana Ware saudara MatinroE ri Tippulunna.
La Makkasau dengan We Kambo Opu Daeng Patiware melahirkan anak ; pertama bernama La Riwu To Paewangi Pallempa Walenrang, kedua bernama La Ewa Opu To Palinrungi, ketiga bernama La Waje Ambo’na Riba Arung Kera Dulung Pitumpanuwa, keempat bernama We Pada Daeng Malele, kelima bernama We Biba Daeng Talebbi.
Semua adik La Makkasau berada di Luwu, kecuali We Seno Datu Citta. We Seno Datu Citta kawin dengan La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete , anak dari We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang Tanete dengan suaminya yang bernama La Mallarangeng To Pasamangi Datu Mario Riwawo juga sebagai Datu Lompulle.
We Seno dengan La Maddussila melahirkan anak ; pertama bernama La Bacuapi , inilah yang menjadi Datu di Citta juga sebagai Dulung Ajangale MatinroEb ri Kananna ri Leangleang pada saat berperangnya Arumpone To Appatunru dengan Inggeris pada tahun 1814. Kedua bernama We Kajao Datu Citta, ketiga bernama We Hatija Arung Paopao.
We Hatija Arung Paopao kawin dengan To Appasawe Arung Berru, anak dari To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE dengan isterinya yang bernama We Besse Karaeng Leppangeng. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Sumange’ Rukka Arung Berru masuk ke Bone kawin dengan We Baego Arung Macege anak dari Arumpone yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata dengan isterinya yang bernama We Bau Arung Kaju. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Pada Arung Berru.
Saudara We Seno yang bernama We Soji Arung Tanete kawin dengan La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone, anak dari To Appo Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Panidong Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka Ambo Pajala. Inilah yang kawin dengan We Tenri Kaware Arung Saolebbi juga sebagai Arung Balosu anak dari La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na.
Sumange’ Rukka Ambo Pajala dengan We Tenri Kaware melahirkan La Passamula BadungE Arung Balosu. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga anak dari La Unru Datu Soppeng dengan isterinya We Mariyama Mabbaju LotongE. Selanjutnya We Bonga Petta Indo I Lampoko dengan suaminya La Passamula Bau Baso Arung Balosu, inilah yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng.
Saudara La Passamula BadungE yang lain bernama La Patongai, inilah yang menjadi Datu di Pattiro. La Patongai kemudian kawin dengan We Panangareng Datu Lompulle anak dari La Rumpang Megga Dulung Ajangale, juga sebagai Datu Lamuru dan Mario Riwawo.Disamping itu, La Rumpang Megga juga sebagai Karaeng di Tanete.Dari perkawinan We Panangareng dengan La Patongai, lahirlah La Onro Datu Lompulle dan Datu Soppeng MatinroE ri Galung.
La Onro kawin di Wajo dengan We Cecu Arung Ganra yang juga sebagai Arung Belawa, anak dari To Lempeng Arung Singkang yang juga sebagai Datu Soppeng MatinroE ri Larompong. La Onro dengan We Cecu melahirkan anak bernama La Pabeangi Arung Ganra yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng. Selanjutnya La Pabeangi kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Sitti Zaenab Arung Lapajung yang juga sebagai Datu Soppeng, anak dari We Mappanyiwi Patola Wajo Arung Singkang dengan suaminya La Walinono Datu Botto.
Anak La Onro dengan We Cecu yang lain bernama We Soji Datu Madello. Inilah yang kawin dengan La Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau, anak La Tune Arung Bettempola dengan isterinya yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang. Anak yang lain bernama La Rumpang Datu Pattiro, inilah yang kawin dengan We Bebu Datu Suppa tidak melahirkan anak. Kemudian La Rumpang kawin dengan We Tappa, lahirlah La Makkulawu yang menjadi Ranreng Talotenre.
Selanjutnya La Onro kawin lagi dengan We Dulung, lahirlah La Cube yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan La Sana Arung Lompengeng yang digelar Jenderal Lompengeng.
Anak La Temmassonge’ yang lain dari isterinya yang bernama Sitti Habiba, adalah La Potto Kati Datu Baringeng Ponggawa Bone yang juga sebagai Arung Attang Lamuru. Inilah yang kawin dengan anak Karaeng Agang PancaE dengan Karaeng Popo. Dari perkawinannya itu, lahirlah anaknya; pertama bernama Sitti Hawang Arung Ujung , kedua bernama La Tadampare To Appotase Arung Ujung.
Sitti Hawang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Gau Ambo Pacubbe Arung Tanete. Sedangkan La Tadampare To Appotase kawin dengan Hidayatullah Colli’ PujiE Arung Pancana, anak dari La Rumpang Megga Arung Tanete MatinroE ri Muttiara dengan isterinya yang bernama Sitti Patimah Colli’ PakuE Daeng Tarape.
Dari perkawinan La Tadampare atau La Tenrengeng dengan Colli’ PujiE, lahirlah anak; pertama bernama We Gasi Arung Atakka, kedua bernama La Makkarumpa Arung Ujung , ketiga bernama We Tenri Olle Arung Tanete.
Saudara dari Sitti Hawang yang lain adalah; pertama bernama La Kaseng Arung Raja, kedua bernama La Supu Arung Suli. Selanjutnya We Tenri Olle Arung Tanete kawin dengan La Sangaji Arung Bakke anak dari La Mappatola Arung Bakke dengan isterinya yang bernama We Pada Datu Mario Attassalo. Dari perkawinan La Sangaji Datu Bakke dengan We Tenri Olle Arung Tanete, lahirlah ; pertama We Pancai’tana Bunga WaliE Datu Tanete, kedua bernama We Pattekke Tana Tonra LipuE Arung Lalolang, ketiga bernama La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke.
We Pattekke Tana Arung Lalolang kawin dengan La Mappa Arung Pattojo, anak dari La Sunra Karaeng Cenrapole dengan isterinya yang bernama We Nillang Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Unru Sulewatang Tanete dan We Tenri Aminah.
La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bube Arung Panincong, anak dari La Malleleang Datu Mario Riawa Attassalo dengan isterinya We Pabuka Arung Panincong. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama Baso Jaya Langkara Datu Tanete, kedua Besse Panincong, ketiga We Canno atau We Suhera Datu Bakke.
La Rajamuda Datu Bakke kawin lagi dengan We Daruma Petta Indo’na Cella. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Mastura Petta Karaeng.
Selanjutnya Arumpone La Temmassonge’ kawin lagi dengan Sitti Sapiyah anak Arung Letta. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro Ponggawa Bone. Puanna La Tenro kawin dengan We Yabang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne, anak dari We Tenri Leleang Datu Luwu MatinroE ri Soreang. Dari perkawinan We Yabang Datu Watu dengan Puanna La Tenro, lahirlah We Muanneng dan La Tatta Petta Ambarala Ambo’ Paggalung.
We Muanneng kawin dengan La Sibengngareng Arung Alitta, anak dari La Posi Arung Alitta dengan isterinya yang bernama We Tenriangka. We Muanneng dengan La Sibengngareng melahirkan anak, yaitu; We Lewa, La Dadda, La Paduppai dan We Nandong.
We Lewa Arung Alitta kawin dengan La Rumanga Karaeng Barang Patola, anak dari We Ninnong Arung Tempe dengan suaminya yang bernama La Patarai Arung Lamunre. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; La Pamessangi Petta Towa. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama E Maragau Daeng Nadi, anak dari La Pawelloi Petta Datu ri JampuE dengan isterinya yang bernama E Kutana. E Maragau dengan Petta Towa melahirkan anak yang bernama We Patima Arung Lerang. Inilah yang kawin dengan La Bode Karaeng Jampu anak dari We Passulle, Addatuang Sawitto dengan suaminya La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone.
We Patima Arung Lerang dengan suaminya La Bode Karaeng Jampu melahirkan anak yang bernama Daeng Rawisa Mabbola SadaE Arung Jampu. Inilah yang kawin dengan I Koso Karaeng Allu. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawelloi. Kemudian La Pawelloi kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Tenri anak dari We Dalaintang dengan suaminya To Sangkawana. Dari perkawinan We Tenri dengan La Pawelloi lahirlah La Parenrengi Bau Ila dan E Siseng Bau Polo.
Adapun La Tatta Petta Ambarala kawin dengan orang Melayu yang bernama Encik Sitti Mainong. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pakkamunri Daeng Patobo. Inilah yang melahirkan La Maddiolo Daeng Pabeta. Selanjutnya La Maddiolo Daeng Pabeta melahirkan Bumihari. Bumihari inilah yang kawin dengan Encik Hatibe Abdullah Saeni. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama Encik Zainul Abidin, Encik Bala, Encik Jauhar Manikam dan Encik Cahaya.
La Pakkamunri Daeng Patobo kawin lagi dan melahirkan La Kangkong Petta Nabba. Inilah yang kawin dengan I Jaleha Daeng Jenne dan melahirkan dua anak laki-laki, pertama bernama Tuan Panji dan yang kedua bernama Encik Padu Salahuddin Daeng Patangnga. Kemudian Daeng Patangnga melahirkan anak satu laki-laki dan dua anak perempuan. Laki-laki bernama Encik Abdul Karim Daeng Pasau dan perempuan bernama masing-masing Encik Kebo dan Encik Innong Daeng Tono.
Selanjutnya La Kasi Puanna La Tenro kawin lagi dengan We Tenri Ona Arung Rappeng anak dari We Senru Arung Rappeng dengan suaminya La Cella Datu Bongngo Arung Gilireng. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Pappa MajjumbaE anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya yang bernama We Tenri Awaru Arung Lempang.
We Tenri Pappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng melahirkan anak perempuan yang bernama Qwe Matana Arung Rappeng. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng anak dari La Canno Arung Gilireng Lampe Uttu dengan isterinya We Mappanyiwi Daeng Takennang Datu Lagosi.
We Matana Arung Rappeng dengan La Makkulawu Arung Gilireng melahirkan anak ; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone, ketiga bernama We Tenri Pasabbi Arung Gilireng, keempat bernama We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, kelima La Palettei Ponggawa Bone, keenam We Sampa Arung Baleng, ketujuh bernama La Wawo, kedelapan bernama We Pana, kesembilan bernama La Mappajanci dan kesepuluh bernama La Massalewe.
Kemudian Arumpone La Temmassonge’ kawin lagi dengan We Salima Ajappasele, melahirkan anak perempuan bernama We Nime. Inilah yang kemudian kawin dengan Datu Bengo. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Dekke Daeng Silasa Petta Bekka’E. Kemudian Petta Bekka’E kawin dengan Karaeng SombaE yang kemudian melahirkan La Mapparewe Daeng Makkuling Datu Bengo.
Pada hari Senin 29 Jumadil Akhir 1133 H. Arumpone La Temmassonge’ memperjelas pemberian saudaranya Batari Toja MatinroE ri Tippulunna baik semasa hidupnya maupun setelah meninggal dunia yang dipesankan kepadanya. Setelah itu iapun masuk kepada Kompeni Belanda untuk mempersaksikan pemberian Batari Toja tersebut.
Inilah penjelasan Arumpone La Temmassonge’,
”Adapun yang diberikan Batari Toja kepada saya ketika masih hidup, seperti; Baringeng, Amali, Pattiro, PaddakkalaE di Bantaeng, saya diberikan ketika berada di Kessi. Sedangkan yang dipesankan, adalah ; Timurung, Majang, Pallengoreng, Kera, Tuwa, Ugi, Citta, Lapajung,Tellu Latte’ E dan Ta’. Selanjutnya Tuwa saya serahkan kepada We Rana, Citta saya serahkan kepada We Seno, Majang saya serahkan kepada We Pakkemme’, Pallengoreng saya serahkan kepada La Massarasa, Ugi saya serahkan kepada La Palaguna, Kera saya serahkan kepada La Makkasau, Takalar saya serahkan kepada We Yamida. Sedangkan Timurung dan NakkaE, itulah yang akan saya tempati sampai tiba ajalku. Siapa saja yang merawat saya sewaktu saya sakit, itulah yang akan memilikinya.”
Pada saat menjadi Mangkau’ di Bone, anaknya di Soppeng, di Tanete, di Luwu dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Addatuang ri Lompulle, ditulis dalam lontara’ Bone dan Soppeng bahwa; Bone dan Mario Riwawo tempat lahirnya KadhiE, Lompulle tempat asal SengngengngE, Tanete sumber pas- seajingeng dan Soppeng tempat untuk memilih.
Dalam tahun 1775 M. Arumpone La Temmassonge’ Arung Baringeng meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Dalam khutbah Jumat, dia dinamakan Sultan Abdul Razak Jalaluddin. Karena dia meninggal di Malimongeng, maka digelar MatinroE ri Malimongeng.

RAJA BONE 23
La Tenri Tappu To Appaliweng (1775–1812)
La Tenri Tappu To Appaliweng adalah cucu La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng, dari anaknya yang bernama We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. La Tenri Tappu menggantikan neneknya menjadi Arumpone pada tanggal 4-6- 1775 M.
Arumpone La Tenri Tappu inilah yang berkedudukan di Rompegading, sehingga ketika ia meninggal dunia digelar Latenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Sebagai Arumpone, ia pernah berperang dengan Addatuang Sidenreng yang bernama La Wawo. Persoalannya adalah karena La Wawo akan melepaskan diri dari keterikatannya dengan Bone. La Wawo bertegas tidak akan memberikan lagi – sebbukati (upeti) yaitu semacam persembahan yang menjadi kewajiban Addatuang Sidenreng.
Setelah melalui pertimbangan yang matang, berangkatlah orang Bone dibawah komando Arumpone untuk menyerang Sidenreng. Karena merasa terancam, Addatuang Sidenreng La Wawo minta bantuan kepada Karaeng Tanete. La Wawo minta kepada Karaeng Tanete agar Arumpone La Tenri Tappu bersama segenap pasukannya dapat dibendung untuk tidak memasuki wilayah Sidenreng. Addatuang Sidenreng La Wawo menyanggupi untuk menyediakan –ubba yaitu semacam bahan peledak kepada Karaeng Tanete dalam membendung serangan Bone.
Setelah bermusuhan kurang lebih tiga tahun, ternyata orang Bone tidak mampu untuk melewati Sungai Segeri karena dibendung oleh orang Tanete dengan bantuan Petta TollaowE ri Segeri.
Untuk mencegah terjadinya perang yang berkerpanjangan, Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang segera turun tangan. Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Yacobson Wilbey mengingatkan kepada Arumpone La Tenri Tappu untuk mundur ke Bone. Begitu pula kepada Addatuang Sidenreng La Wawo agar menarik pasukannya kembali ke Sidenreng. Dengan demikian, perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir.
Ketika perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir, datanglah La Wawo kepada Karaeng Tanete membawa 40 orang Batu Lappa dan 20 orang Kasa sebagai pengganti harga ubba yang digunakan Karaeng Tanete selama perang. Dalam masa pemerintahan La Tenri Tappu di Bone, Inggeris menduduki Rotterdam menggantikan Belanda tahun 1814 M.
La Tenri Tappu To Appaliweng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Padauleng untuk dijadikan sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. We Padauleng adalah anak dari La Baloso, saudara ibunya dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang.
We Padauleng dengan La Tenri Tappu melahirkan anak pertama bernama La Mappasessu To Appatunru, inilah yang kemudian menjadi Mangkau’ di Bone, kedua bernama We Manneng Arung Data, ketiga bernama Batara Tungke Arung Timurung, keempat bernama La Pawawoi Arung Sumaling, kelima bernama La Mappaseling Arung Pannyili, keenam bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara, ketujuh bernama We Kalaru Arung Pallengoreng, kedelapan bernama Mamuncaragi, kesembilan bernama La Tenri Bali Arung Ta’, kesepuluh bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kesebelas bernama La Paremma’ Rukka Arung Karella, kedua belas bernama La Temmu Page Arung Paroto Ponggawa Bone MatinroE ri Alau Appasareng, ketiga belas bernama La Pattuppu Batu Arung Tonra.
La Mappasessu To Appatunru kawin dengan We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah; We Baego Arung Macege. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kali ibunya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Selanjutnya dari perkawinan We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai, lahirlah; We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
Adapun La Tenri Sukki Arung Kajuara To Malompo di Bone, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Daeng Matana adalah anak dari We Maddilu saudara kandung We Padauleng Arung Makkunrai di Bone.
Sedangkan La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kawin dengan We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari We Mudariyah MappalakaE Ranreng Talotenre dengan suaminya yang bernama La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinan Bau Cina dengan Petta Anre Guru AnakarungE ; pertama bernama La Parenrengi Arung Ugi. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru atau Pancai’tana Besse Kajuara anak dari We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana dengan suaminya yang bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara.
Adik dari La Parenrengi bernama Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone yang juga sebagai Ranreng Talotenre Wajo. Selanjutnya adik dari Toancalo bernama Sitti Saira Arung Lompu. Adik berikutnya bernama We Rukka, We Ciciba. We Ciciba inilah yang kawin dengan La Pangerang Arung Cimpu.
Kembali kepada saudara perempuan La Tenri Tappu yang bernama We Yallu Arung Apala. Inilah yang melahirkan Datu Pattiro, Datu Soppeng MatinroE ri Tengngana Soppeng dengan suaminya yang bernama La Mappapole Onre Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Anak berikutnya bernama La Mata Esso Sule Datu di Soppeng MatinroE ri Lawelareng. Selanjutnya bernama We Tenri Kaware Arung Saolebbi Arung Balosu. Selanjutnya We Dende, meninggal dunia ketika masih kecil.
La Unru Datu Pattiro kawin dengan We Selima Mabbaju NyilaE anak dari We Mariyama Mabbaju LotongE dengan suaminya yang bernama La Pede Daeng Mabela Pabbicara Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah pertama bernama Baso Sidenreng Petta Ambo’na Salengke, kedua bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko.
Baso Sidenreng Petta Ambo’na Salengke kawin dengan We Waru, kemudian We Kacici. Keduanya adalah anak dari La Patau Petta Janggo Arung Leworeng. Dari perkawinan dengan We Waru lahirlah; pertama bernama We Nibu, kedua bernama La Salengke. Selanjutnya We Kacici melahirkan anak pertama bernama La Palloge, kedua bernama We Jenna, ketiga bernama We Takka.
Sedangkan We Tenri Kaware Arung Balosu kawin dengan Sumange’ Rukka Ambo’ Pajala Arung Tanete anak We Soji Arung Tanete dengan suaminya yang bernama La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah dua anak laki-laki pertama bernama La Patongai Datu Pattiro, kedua bernama La Passamula BadungE.
La Patongai Datu Pattiro kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Panangareng Datu Lompulle, anak dari We Pancai’tana Arung Akkampeng dengan suaminya yang bernama La Rumpang Megga Karaeng Tanete. We Panangareng dengan La Patongai melahirkan anak bernama La Onro Datu Lompulle.
La Passamula BadungE kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko. Dari perkawinan itu lahirlah anaknya pertama bernama Bau Baso Arung Balosu, inilah yang menjadi Sule Datu di Soppeng. Kedua bernama Sitti Hawang, ketiga bernama We Mira.
Bau Baso Arung Balosu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na Matta anak Baso Sidenreng dengan isterinya We Waru. Dari perkawinan itu lahirlah ; pertama bernama We Matta, kedua bernama Mahmud Petta Bau, ketiga bernama We Besse.
Sitti Hawang kawin dengan La Cakkudu Petta Amparita, anak La Panguriseng Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Bangki Arung Rappeng. We Sitti Hawang dengan La Cakkudu melahirkan anak bernama La Pasanrangi Datu Taru.
We Taka kawin dengan La Sanreseng Datu Lamuru, anak dari Jaya Langkara Datu Lamuru dengan isterinya yang bernama We Tellongeng. Dari perkawinan itu lahirlah We Sengngeng. Inilah yang kawin dengan La Sana Arung Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya yang bernama We Bonga. We Sengngeng dengan La Sana melahirkan anak bernama We Yasiyah. We Yasiyah inilah yang kawin dengan La Coppo Daeng Mangottong, anak dari La Massikkireng Arung Macege dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Arung Pallengoreng.
We Jenna kawin dengan La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenre Arung Matowa Wajo MatinroE ri Batubatu. Anak dari La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre dengan isterinya Besse Arawang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappe Datu Mario Riawa. Kemudian La Mappe kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Besse anak Sule DatuE Arung Balosu dengan isterinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na Matta. Selanjutnya We Besse dengan La Mappe melahirkan anak perempuan yang bernama Isa Arung Padali.
We Matta kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Pasanrangi Datu Taru, anak dari Sitti Hawang dengan suaminya La Cakkudu Petta Amparita. Kemudian We Matta dengan La Pasanrangi melahirkan anak pertama bernama La Bandu, kedua bernama We Selo. We Selo kawin dengan La Jojjo Arung Berru Karaeng Lembang Parang, anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya La Mahmud Karaeng ri Baroanging. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri.
La Onro Datu Lompulle kawin dengan We Cecu Arung Ganra yang juga Arung Belawa Orai. Anak dari We Sitti Tahirah Patola Wajo dengan suaminya To Lempeng Arung Singkang yang juga Datu Soppeng Rialau. Kemudian We Cecu dengan La Onro melahirkan anak ; pertama bernama We Soji Datu Madello, kedua bernama La Pabeangi Arung Ganra, ketiga bernama La Rumpang Datu Pattiro Ranreng Talotenre.
We Soji Datu Madello kawin dengan Loa Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau anak dari La Tune Arung Bettempola dengan isterinya Sompa Ritimo Arung Penrang. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Cella, kedua bernama We Tenri Arung Belawa , ketiga bernama We Panangareng Datu Madello, keempat bernama La Patongai Datu Doping.
La Pabeangi Arung Ganra kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Datu Watu Arung Lapajung Patola Wajo, anak dari We Mappanyiwi Patola Wajo dengan suaminya yang bernama La Walinono Datu Botto. We Tenri Sui dengan La Pabeangi melahirkan anak; pertama bernama La Wana Arung Ganra, kedua bernama La Jemma Datu Lapasung, ketiga bernama We Yaddi Luwu Datu Watu, keempat bernama Sitti Tahira Patola Wajo Datu MallanroE. Sitti Tahira inilah yang kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Bandu, tidak melahirkan anak.
La Wana kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama Isa Arung Padali anak dari La Mappe dengan isterinya yang bernama We Besse. Kemudian La Mappe kawin lagi dengan We Cingkang anak dari La Jalante Jenderal Tempe. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mori. Selanjutnya Isa dengan La Wana Arung Ganra melahirkan anak; pertama bernama La Walinono Arung Laleng Bata, kedua bernama We Tenri Dio Datu Lompulle, ketiga bernama Galette, keempat bernama Abu Baedah.
We Yaddi Luwu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona Datu Mario Riwawo anak dari La Wawo Datu Botto dengan isterinya yang bernama We Tenri Leleang Datu Mario Riwawo. We Yaddi Luwu dengan La Mangkona melahirkan anak; pertama bernama La Sade, kedua bernama We Tenriabeng, ketiga bernama We Tenriangka, keempat bernama We Cecu, kelima bernama We Tenri Pakkemme’.
La Onro Datu Lompulle kawin lagi dengan We Dulung, melahirkan seorang anak bernama La Cube. Inilah yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan Jenderal Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya We Bonga. Dari perkawinan La Cube dengan We Munde ; pertama bernama La Singke, kedua bernama We Sukki, ketiga bernama Sitti Saleha, keempat bernama La Mahmud.
La Rumpang kawin lagi dengan We Tappa dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Makkulawu.
Sampai disinilah keterangan tentang keturunan We Yallu Arung Apala yang bersaudara kandung dengan We Banrigau Arung Tajong. We Banrigau Arung Tajong kawin dengan La Tenriangka Arung Ujung anak dari Tomarilaleng Pawelaiye ri Gowa dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Karaeng Somba Opu yang juga Karaeng Tallo. Perkawinannya itu melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Tenri Wari.
Kemudian We Banrigau Arung Tajong kawin lagi di Wajo dengan La Sampenne Petta La Battowa CakkuridiE ri Wajo yang juga sebagai Arung Liu. Anak dari La Paulangi To Saddapotto Daeng Lebbi Arung Bette dengan isterinya We Tenri Ampa Arung Singkang. We Banrigau dengan Petta La Battowa melahirkan anak; pertama bernama We Sawe Arung Liu, kedua bernama La Olli Maddanreng Bone, ketiga bernama We Sikati Andi Ecce
We Sikati kawin dengan La Sampo Arung Ugi yang juga sebagai Arung Belawa. Anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama We Bakke Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama We Busa Petta WaluE Arung Belawa, kedua bernama La Rappe Arung Liu Arung Ugi yang juga Maddanreng di Bone dan Sule Ranreng Tuwa ketika sepupu satu kalinya yang bernama We Hudiyah menjadi Ranreng Tuwa. Ketiga bernama La Maggalatung Daeng PaliE Arung Palippu.
We Busa Arung Belawa kawin dengan La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo. Anak dari La Sengngeng Arung Bettempola MatinroE ri Salawa’na dengan isterinya We Mappangideng Arung Macanang. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Kalaru Arung Bettempola, kedua bernama La Paramata atau La Tatta Raja Dewa Arung Bettempola, ketiga bernama La Tune Mangkau atau La Tune Sangiang Arung Bettempola MatinroE ri Tancung.
We Kalaru kawin dengan La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre, anak dari We Mudariyah MappalakaE dengan suaminya La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama laki-laki bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE Datu Alau Wajo dan juga sebagai Arung Palippu.
La Rappe Arung Liu kawin dengan We Besse Daeng Taleba Arung Penrang anak dari We Jiba Datu Bulu Bangi dengan suaminya La Saliwu Petta KampongE Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang MatinroE ri Cinnong Tabi. Kemudian Sompa Ritimo kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tune Mangkau Arung Bettempola. Anak dari We Busa Petta WaluE dengan suaminya La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo.
Sompa Ritimo dengan La Tune Sangiang melahirkan anak yang bernama La Gau, inilah yang kemudian mejadi Ranreng di Bettempola Wajo. La Gau kemudian kawin dengan We Tenri Sampeang Denra WaliE Arung Patila. Anak dari We Baru Arung Patila dengan suaminya yang bernama La Saddapotto Maddanreng Pammana. Kemudian La Gau dengan We Tenri Sampeang melahirkan anak yang bernama La Jamarro, inilah yang kemudian menjadi Paddanreng Bettempola. Anak berikutnya adalah La Cengke Manciji Wajo, La Tengko Arung Belawa Alau, juga sebagai Manciji Wajo, La Jollo Datu Patila, La Mamu Petta Yugi, La Come, We Gallo Arung Liu,
We Gallo Arung Liu, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE, tidak ada anaknya. Kemudian PajumpungaE kawin lagi dengan sepupu satu ayahnya yang bernama We Nyili’timo Arung Baranti, anak dari La Panguriseng .
Arumpone La Tenri Tappu yang tempat tinggalnya Rompegading dan Bone secara bergantian. Pada tahun 1812 M. ia meninggal dunia di Rompegading, maka dinamakanlah MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading digantikan oleh anaknya yang bernama La Mappasessu To Appatunru sebagai Mangkau’ di Bone.



RAJA BONE 24
La Mappasesseu To Appatunru (1812–1823)
La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka menggantikan ayahnya menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1812 M. Namun pelantikannya nanti pada tahun 1814 M. La Mappasessu To Appatunru dikenal banyak bersaudara, anak dari La Tenri Tappu To Appaliweng MatinroE ri Rompegading dengan isterinya We Padauleng MatinroE ri Sao Denrana.
Pada saat menjadi Arumpone, Inggeris masuk memerintah menggantikan Belanda. Inggerislah yang menyuruh Arung Mampu yang bernama Daeng Riboko untuk mengambil SudengE dan segenap benda Kerajaan Gowa yang selama ini dipegang oleh Arumpone. Tetapi Arumpone tetap mempertahankan segenap milik ArajangE ri Gowa karena memang Arumpone punya niat untuk menjadi Arung di Gowa. Baik Arumpone La Tenri Tappu maupun La Mappasessu anaknya, merasa memiliki hak untuk menjadi Karaeng di Gowa karena memang adalah cucu dari KaraengE ri Gowa MatinroE ri Somba Opu. Apalagi banyak sekali orang Gowa yang tinggal di pegunungan yang menyerahkan diri.
Oleh karena itu, Arumpone La Mappasessu berkeras untuk menjadi Karaeng ri Gowa. Pada saat itu belum ada yang jelas tentang Karaeng di Gowa. Bagi orang Gowa beranggapan bahwa siapa saja yang memegang benda –benda Arajang, itulah yang dianggap sebagai Karaeng ri Gowa. Walaupun telah dilantik sebagai Karaeng, tetapi tidak memiliki benda-benda ArajangE ri Gowa, maka tidak bisa memerintah di Gowa.
Pembesar Inggeris yang bernama Residen Philips menyuruh kepada Arung Mampu Daeng Riboko pergi menemui Arumpone untuk minta agar benda-benda Kerajaan Gowa yang disimpan oleh Arumpone La Tenri Tappu pada masa hidupnya dikembalikan ke Gowa. Tetapi Arumpone La Mappasessu tetap mempertahankan untuk tidak memberikan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa tersebut.
Karena Pembesar Inggeris merasa tidak dipatuhi, maka direncanakanlah untuk menyerang Bone. Arumpone saat itu berkedudukan di Rompegading dan Inggeris melakukan serangan kepada Arumpone. Karena persenjataan Inggeris jauh lebih kuat, maka pada akhirnya Arumpone kalah setelah Rompegading dibumi hanguskan. Arumpone La Mappasessu serta seluruh keluarganya kembali ke Bone dan berkedudukan di Laleng Bata. Adapun SudengE serta segenap benda-benda Kerajaan Gowa, Arumpone menyerahkan kepada Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na yang memberikan kepada Arung Mampu untuk dilanjutkan kepada Kompeni Inggeris.
Pada tanggal 4 Juni 1814 M. Kompeni Inggeris menyerahkan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa kepada Bate SalapangE ri Gowa . Jenderal Perang Inggeris yang menyerang Rompegading bernama Tuan Nightingale. Dalam tahun 1816 M. Gubernur Jenderal Belanda kembali memerintah.
Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Mappasessu To Appatunru disebut sebagai Sultan Muhammad Ismail Mukhtajuddin. Inilah Arumpone yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah anak perempuannya yang bernama We Baego yang kemudian menjadi Arung Macege. Dalam tahun 1823 M. Arumpone La Mappasessu To Appatunru meninggal dunia di Laleng Bata dan dinamakanlah MatinroE ri Laleng Bata.
We Baego Arung Macege kawin di Berru dengan Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Anak dari Arung Berru To Appasawe dengan isterinya yang bernama We Hatija Arung Paopao. We Hatija Arung Paopao adalah anak La Maddussila Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama We Seno Datu Citta. We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai melahirkan pertama bernama We Pada Arung Berru, kedua bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
We Pada Arung Berru kawin di Gowa dengan I Mallingkaang Karaeng Katangka. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama I Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang, kedua bernama I Topatarai Karaeng Pabbundukang. Ketiga bernama I Togellangi Karaeng Silajo, keempat bernama We Batari Daeng Marennu Arung Berru, kelima bernama We Bau, keenam bernama We Biba Karaeng Bonto Masuji, ketujuh bernama Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, kedelapan bernama Butta Intang Karaeng Mandalle, kesembilan bernama I Mangiruru Daeng Mangemba Karaeng Manjalling, kesepuluh bernama We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete, kesebelas bernama Sitti Haja Daeng Risanga, kedua belas bernama Sitti Rugaiya Karaeng Langelo, ketiga belas bernama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo.
Kembali kepada La Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang. Inilah yang menjadi Karaeng ri Gowa. La Makkulawu Daeng Parani kawin di Alitta dengan We Tenri Paddanreng atau We Bunga Singkeru’ anak La Parenrengi Arumpone MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Besse Kajuara Arumpone MatinroE ri Majennang Suppa. Dari perkawinannya itu lahirlah pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Petta Alitta, kedua bernama La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa.
La Panguriseng Petta Alitta kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung. Anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya I Mahmud Karaeng Baroanging. La Panguriseng dengan We Seno melahirkan anak pertama bernama We Cella Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi.
La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddilu Karaeng Bonto Masuji anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggimae. Namun tidak melahirkan anak dan We Maddilu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi dengan We Batasi anak Gallarang Tombolo Bate SalapangE ri Gowa dengan isterinya yang bernama I Cikopo. Dari perkawinan yang kedua itu lahirlah La Pangerang Arung Macege. Selanjutnya La Mappanyukki kawin lagi di Massepe dengan We Besse Petta Bulo anak dari La Saddapotto Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Beda Addatuang Sawitto. Dari perkawinannya yang ketiga itu lahirlah Abdullah Bau Massepe, We Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi dan terakhir bernama We Bulaeng.
Karena Besse Bulo meninggal dunia, maka La Mappanyukki kawin lagi dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Manenne Karaeng Balangsari anak dari I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo dengan isterinya yang bernama I Nako Karaeng Panakukang. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Tenri Pada Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi.
I Mallingkaang Karaeng Riburane di Wajo kawin dengan We Ninnong Ranreng Tuwa Wajo anak dari La Mappanyompa Ranreng Tuwa Wajo Arung Ujung dengan isterinya yang bernama We Dala Tongeng Arung Tempe. Dari perkawinan itu lahirlah pertama bernama We Manawara Besse Tempe, kedua bernama Baharuddin Bau Akkotengeng Karaeng Mandalle, ketiga bernama Mahmud, keempat bernama We Mudariah Karaeng Balangsari, kelima bernama Hasan Karaeng Riburane, keenam bernama Sulaeman.
I Sugiratu Andi Baloto kawin dengan La Parenrengi Karaeng Tinggimae anak dari I Manggabarani Karaeng Mangeppe Arung Matowa Wajo dengan isterinya We Dala Wettoeng Karaeng Kanjenne. Dari perkawinan itu lahirlah pertama bernama We Maddilu Daeng Bau, kedua bernama We Seno Karaeng Lakiung.
We Maddilu kawin dengan La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa, tidak melahirkan anak. Selanjutnya We Seno kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Kumala Karaeng Cenrapole. Kemudian I Magguliga Andi Bangkung kawin dengan We Patima Banri atau We Banri Gau Arung Timurung anak Singkeru’ Rukka Arung Palakka Arumpone MatinroE ri Topaccing dengan isterinya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu.Selanjutnya We Banri Gau dengan I Magguliga Karaeng Popo melahirkan anak bernama We Sutera Arung Apala, meninggal dunia diwaktu masih kecil. Kemudian Karaeng Popo kawin dengan I Nako Karaeng Panakukang anak dari I Mappatunru Karaeng Riburane dengan isterinya I Patimasang Daeng Ngasseng.
Karaeng Popo dengan I Nako melahirkan anak bernama I Manenne Karaeng Balangsari Arung Makkunrai ri Bone yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappanyukki.
We Batari Daeng Marennu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Mahmud Karaeng ri Baroanging anak dari I Manginyareng Karaeng Lembang Parang dengan isterinya I Woja Karaeng Balangsari. Dari perkawinan itu lahirlah pertama bernama I Jojjo Kalamullahi Karaeng Lembang Parang Arung Berru, kedua bernama I Kumala Karaeng Cenrapole, ketiga bernama We Seno Karaeng Lakiung, keempat bernama I Sari Banong Karaeng Tanete Arung Berru, kelima bernama I Malingkaang Karaeng Riburane.
I Jojjo Kalamullahi kawin dengan We Ica Arung Manisang anak dari La Saddapotto Addatuang Sidenreng dengan isterinya We Beda Addatuang Sawitto. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anaknya yang bernama La Saddapotto. Kemudian I Jojjo Kalamullahi kawin lagi di Soppeng dengan We Selo anak dari La Pasanrangi Datu Taru dengan isterinya yang bernama We Matta. Dari perkawinannya itu melahirkan anak yang bernama We Tenri.
I Kumala Karaeng Cenrapole kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae. Dari perkawinan itu lahirlah pertama bernama I Manggabarani, kedua bernama Singkeru’ Rukka, ketiga bernama Sumange’ Rukka Karaeng Mangeppe Arung Berru dan satu bernama We Oja, meninggal diwaktu kecil.
We Seno Karaeng Lakiung kawin dengan La Panguriseng Petta Alitta anak dari I Makkulawu KaraengaE ri Gowa dengan isterinya We Cella Arung Alitta.
I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo kawin dengan We Kunjung Karaeng Tanatana anak dari I Nyulla Daeng Tappa Manyoro Attabone dengan isterinya We Patimasang, cucu Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinannya itu lahirlah pertama bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Kedua seorang perempuan bernama I Maisa Karaeng Rappocini dan ketiga seorang perempuan bernama I Patimasang Karaeng Panaikang.
I Mangimangi Daeng Matutu sewaktu dilantik sebagai Somba atau Karaeng ri Gowaripasekkori lalla sipuwe pada tanggal 4 Januari 1937 ketika Tuan Boslaar sebagai Pembesar Kompeni di Ujungpandang. Datang semua TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenrempulu, Cappa GalaE. Datang juga Sultan Butung.
La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang kawin dengan Daeng Tuji. Kawin juga dengan Daeng Ngai. Inilah Karaeng ri Gowa dan Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta.
Sampai disinilah catatan tentang keturunan Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Adapun yang menggantikan sebagai Mangkau’ di Bone adalah saudara perempuannya yang bernama I Manneng Arung Data.

RAJA BONE 25
I Manneng Arung Data (1823–1835)
I Manneng Arung Data menggantikan saudaranya MatinroE ri Laleng Bata menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat nama I Manneng Arung Data dikenal dengan sebutan Sultanah Salimah Rajiyatuddin. Dalam tahun 1824 M. pada masa pemerintahannya di Bone, Belanda kembali memerintah.
Pembesar Kompeni Belanda mengajak kepada Arumpone untuk meperbaharui Perjanjian Bungaya, yaitu perjanjian antara La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na dengan Kompeni Belanda untuk bekerja sama dalam pemerintahan.Arumpone I Manneng Arung Data dikenal sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam, sehingga dia memperdalam yang namanya ilmu tasauf. Untuk itu ia diberikan wilayah oleh gurunya yang bernama Seikh Ahmad yang menundukkan Tambora yang digelar Alif Putih. Oleh karena itu I Manneng Arung Data bertegas untuk tidak akan mengulangi Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Gubernur Belanda menyerang Bone pada tahun 1825 M. Dan nanti pada tanggal 7 Agustus 1825 M. baru terjadi kesepakatan antara Bone dengan Gowa untuk menjadi Bond Gnoshap dengan Belanda sebagai realisasi Pembaharuan Perjanjian Bungaya.

Arumpone I Manneng Arung Data dikenal tidak memiliki anak karena tidak pernah menikah. Ia meninggal dalam tahun 1835 M. dan dinamakan MatinroE ri Kessi. Selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang bernama La Mappaseling Arung Panynyili.

RAJA BONE 26
La Mappaseling Arung Pannyili (1835–1845)
La Mappaseling Arung Pannyili menggantikan saudaranya I Manneng Arung Data MatinroE ri Kessi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Adam Najamuddin. Adapun yang menjadi penengah untuk mendamaikan kembali Bone dengan Gubernur Belanda, adalah La Mappangara Arung Sinri, anak dari We Masi Arung Weteng dengan suaminya yang bernama To Tenri Tomarilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE.
La Mappangara menggantikan ayahnya menjadi Tomarilaleng ri Bone dan setelah meninggal dunia, dinamakanlah PawelaiyE ri SessoE. Ketika La Mappangara menjadi Tomarilaleng di Bone, terjalinlah kembali persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda yang pernah terputus. Pada tanggal 13 Agustus 1835 M. diperbaharuilah perjanjian yang pernah disepakati oleh Petta To RisompaE dengan Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang.
Dalam tahun 1838 M. Arumpone La Mappaseling bersama TomarilalengE Arung Sinri berangkat ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres guna mempererat hubungan Bone dengan Kompeni Belanda.
La Mappangara Arung Sinri Tomarilaleng Bone yang kawin dengan saudara perempuan Arumpone yang bernama We Kalaru Arung Pallengoreng. Dari perkawinannya itu, tidak melahirkan anak. Begitu pula Arumpone La Mappaseling Arung Pannyili, juga tidak memiliki Arung Makkunrai (permaisuri) yang melahirkan anak.
Dalam tahun 1845 M. Arumpone La Mappaseling Arung Pannyili meninggal dunia dan dinamakanlah MatinroE ri Salassana. Dengan demikian, para Hadat Bone bermusyawarah untuk menentukan pengganti Arumpone. Setelah terjadi berbagai pertimbangan, maka disepakatilah La Parenrengi Arung Ugi menggantikan pamannya sebagai Mangkau’ di Bone.
RAJA BONE 27
La Parenrengi Arung Ugi (1845–1857)
La Parenrengi sebagai Arung Lompu menggantikan pamannya La Mappaseling Arung Pannyili sebagai Mangkau’ di Bone. La Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone saudara kandung dengan MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng.
Anak MappalakaE dengan Petta CambangE, adalah ; pertama bernama La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre. Inilah yang dipersiapkan menjadi Addatuang Sidenreng, akan tetapi Petta CambangE berperang dengan saudaranya yang bernama La Panguriseng sehingga kedudukan tersebut direbut oleh La Panguriseng. Anak yang kedua bernama La Unru Arung Ujung, ketiga bernama We Tabacina Karaeng Kanjenne dan yang keempt bernama We Batari, meninggal diwaktu kecil.
We Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi. Inilah yang disepakati oleh Hadat Tujuh Bone untuk diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan Petta CambangE berikutnya, adalah; Toancalo Arung Amali Tomarilaleng Bone Ranreng juga di Talotenre. Berikutnya bernama We Rukiyah dan berikutnya lagi bernama Sitti Saira Arung Lompu.
Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.
La Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat menjadi Arumpone dan masih tetap didampingi oleh pamannya yang bernama La Mappangara Arung Sinri. Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Parenrengi disebut sebagai Sultan Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara Arung Sinri masih tetap berjasa dalam memperbaiki hubungan antara Bone dengan Kompeni Belanda.
Karena jasa-jasa La Mappangara Arung Sinri sehingga Kompeni Belanda benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam menjalin kerja sama dengan Arumpone.Pembesar Kompeni Belanda yang ada di Ujungpandang sengaja masuk ke Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan Kompeni Belanda bersahabat yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.
Ketika Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone pada tahun 1846 M. Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya dengan baik. Namun tidak seorangpun yang menduga bahwa persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda akan mengalami masalah. Seperti kata orang tua bahwa sedangkan piring satu tempat bisa saling berbenturan, walaupun tidak ada yang menggoyangkannya.Begitu pula Arumpone La Parenrengi dengan Kompeni Belanda, persahabatan yang begitu akrab, tiba-tiba saja merenggang.
Karena La Mappangara Tomarilaleng Bone mengambil jalan pintas yaitu untuk minta kepada Arumpone agar dirinya dapat diberhentikan sebagai Tomarilaleng. Permintaan itu dipenuhi oleh Arumpone La Parenrengi dengan pertimbangan bahwa pamannya itumemang sudah tua dan ingin istirahat.
Dalam tahun 1849 M. setelah tugasnya sebagai Tomarilaleng Bone dilepaskannya, maka naiklah ke Ujungpandang untuk minta perlindungan kepada Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar Kompeni Belanda menunjukkan tempat yang baik untuk ditempati, yaitu Marus. Setelah kesepakatan antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni Belanda selesai dan Arung Sinri setuju untuk tinggal di Marus, maka kembalilah ke Bone mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap keluarganya untuk dibawa ke Ujungpandang.
Setelah semua barang-barangnya selesai dikemas dan segenap keluarganya yang akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara Arung Sinri minta izin kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke Ujungpandang. Arumpone La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti oleh beberapa keluarganya. Arung Sinri bersama rombongannya berjalan menelusuri hutan, melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang luas di Maros, di tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni Belanda, yaitu tempat yang bernama SessoE.
Di tempat itulah Arung Sinri dengan seluruh pengikutnya singgah dan menetap. Kepada pengikutnya dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber penghidupan dengan keluarganya.
Arung Sinri yang dikenal sangat patuh dalam melaksanakan syariat Islam, maka iapun merasa tenang dan aman dalam beribadah ditempatnya yang baru itu. Beberapa saat kemudian Arung Sinri memilih suatu tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu tarekat khalwatiyah. Pergilah ke Barru menemui seorang ulama’ yang bernama Haji Kalula. Inilah yang membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam yang dianutnya. Anak cucunyalah secara turun temurun yang menjadi Pangulu Lompo tarekat Khalwatiyah itu.
Pada tanggal 16 Februari 1857 M. Arumpone La Parenrengi meninggal dunia di Ajang Benteng. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Ajang Benteng. Selanjutnya digantikan oleh janda sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.



RAJA BONE 28
We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara (1857–1860)
Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Imalahuddin. Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara dengan La Parenrengi Arung Ugi adalah bersepupu satu kali karena kedua orang tuanya bersaudara kandung dari MatinroE ri Rompegading. Ayah dari La Parenrengi yang bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone kawin dengan anak MappalakaE dengan suaminya yang bernama Muhammad Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri Sidenreng.
La Mappawewang dengan dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To MalompoE ri Bone. La Tenri Sukki yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana anak dari We Maddilu Arung Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung Belawa Orai. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.
Pada masa pemerintahan We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone dengan Kompeni Belanda kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni Belanda selalu menekankan untuk memperbaharui kembali Perjanjian Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda tetap kokoh. Akan tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk tidak akan memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone.
Kemanakannya inilah yang selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya untuk menjadi Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang Benteng meninggal dunia, kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak untuk ditunjuk oleh Hadat Tujuh Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru, cucu dari MatinroE ri Laleng Bata.
Dengan demikian antara Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling menyatakan perang. Arumpone We Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh pamannya yang bernama La Cibu To LebaE Ponggawa Bone untuk melawan Belanda. Pada bulan Desember 1859 M. Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Van Switen bersama Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat La Tenri Sukki Arung Palakka yang ikut menyerang.
Arumpone Besse Kajuara berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda membumi hanguskan Bone. Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin kuat dan agar tidak terlalu banyak memakan korban, maka iapun menyatakan kalah. Besse Kajuara meninggalkan Bone dan pergi ke Ajattappareng. Dalam perjalannya ke Ajattappareng, Besse Kajuara dengan pengikutnya singgah di Polejiwa dijemput oleh pamannya yang bernama La Cibu Addatuang Sawitto Ponggawa Bone.
La Cibu Addatuang Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse Kajuara untuk memilih tempat diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto atau Alitta. Setelah beristirahat beberapa hari, Besse Kajuara meninggalkan Polejiwa dan melanjutkan perjalanan ke Alitta. Disitulah seorang anak Besse Kajuara yang bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng disuruh untuk menetap.
Selanjutnya Besse Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan memperhatikan kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia. Karena ia meninggal di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri Majennang Suppa.
Adapun anak yang dilahirkan dari perkawinannya dengan La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng, adalah; pertama bernama Sumange’ Rukka, meninggal ketika berperang saat mengungsikan ibunya ke Ajattappareng. Kedua bernama We Sekati Arung Ugi, meninggal sebelum menikah. Ketiga bernama We Bube, inilah yang menjadi Arung Suppa.
Selanjutnya Besse Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro, anak dari La Onro Datu Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra. Dari perkawinannya itu tidak mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal dunia,
Anaknya yang lain bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Gowa dengan La Makkulawu Karaeng Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallingkaang Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu Mammenanga ri Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung Berru Karaeng Baine ri Gowa.
Setelah I Malingkaang Karaeng Katangka meninggal dunia, digantikanlah oleh Karaeng Lembang Parang menjadi Karaeng ri Gowa dan Arung Alitta menjadi Karaeng Baine (permaisuri). Dengan demikian Alitta dengan Gowa bersatu.
Dari perkawinan Arung Alitta dengan KaraengE ri Gowa lahirlah dua anak laki-laki, pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Arung Alitta. Kedua bernama La Mappanyukki Datu Suppa. La Panguriseng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya yang bernama La Mahmud Karaeng ri Baroanging.
We Seno dengan La Panguriseng melahirkan anak ; pertama bernama Saripa Karaeng Pasi, kedua bernama We Cella Karaeng Lakiung. Kedua bersaudara itu tidak pernah menikah.
La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddelu Petta Daeng Bau anak We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae Datu Suppa. Dari perkawinannya itu tidak melahirkan anak, hingga We Maddelu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan anak Gellarang Tombolo, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Pangerang.
Ketika We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara meninggalkan Bone, Pembesar Kompeni Belanda menggantinya dengan mengangkat anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.

RAJA BONE 29
Singkeru’ Rukka Arung Palakka (1860–1871)
Singkeru’ Rukka Arung Palakka adalah anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Cucu dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Sebelum diangkat menjadi Arumpone, Singkeru’ Rukka Arung Palakka pernah juga menjadi Arung Bulobulo.
Dia diangkat menjadi Mangkau’ di Bone hanya semata-mata keinginan Kompeni Belanda dan bukan atas kesepakatan Hadat Tujuh Bone. Dia diserahkan akkarungeng di Bone oleh Kompeni Belanda, karena dialah yang selalu menemani Kompeni Belanda untuk menyerang MatinroE ri Majennang Suppa.
Pada tanggal 13 Februari 1860 M. kontrak perjanjiannya dengan Kompeni Belanda selesai, sebab memang Akkarungeng ri Bone hanyalah diberi untuk sementara, karena Singkeru’ Rukka terlalu menginginkannya. Namun dalam khutbah Jumat namanya tetap disebut sebagai Sultan Ahmad.Dalam tahun 1871 M. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing dan dinamakanlah MatinroE ri Topaccing.
Arumpone Singkeru’ Rukka kawin dengan sepupu datu kali ibunya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri Ajang Benteng. Anak La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone dengan isterinya We Tabacina Karaeng Kanjenne. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Patima Banri Arung Timurung. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo. Anak We Pada Arung Berru dengan KaraengE ri Gowa Tu Mammenanga ri Kalabbiranna. We Patima Banri Arung Timurung dengan I Magguliga Andi Bangkung melahirkan seorang anak perempuan bernama We Sutera Arung Apala.
Selanjutnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka kawin lagi dengan I Kalossong Karaeng Langelo. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawawoi Karaeng Sigeri. Kemudian Singkeru’ Rukka kawin lagi dengan I Tatta atau I Jora, lahirlah La Panagga, inilah yang menjadi Pangulu Jowa ri Bone. Kemudian La Panagga kawin dengan Arung Patingai, lahirlah E Suka Arung Data. E Suka Arung Data kawin dengan La Mallarangeng Daeng Mapata Arung Melle. Anak dari La Makkarodda Anre Guru Anakarung Bone dengan isterinya We Kusuma, anak Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone. Dari perkawinan itu lahirlah La Mandapi Arung Ponceng.
La Mandapi kawin dengan Daeng Tapuji anak dari La Baso Daeng Sitaba Arung Ponceng. Dari perkawinan itu lahirlah La Patarai dan We Nona. Kemudian La Patarai kawin dengan anak Arung Bettempola La Makkaraka dengan isterinya We Laje Petta Ince yang bernama We Tappu. Dari perkawinan La Patarai dengan We Tappu, lahirlah ; pertama bernama We Ratna, kedua La Takdir dan We Megawati.
We Nona kawin di Parepare dengan La Dewang anak dari We Rela dengan suaminya yang bernama La Makkawaru. Kemudian La Pananrang Pangulu JowaE kawin lagi dengan We Saripa, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Maddussila Daeng Paraga Tomarilaleng Bone, juga sebagai MakkedangE Tana ri Bone. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Tungke Besse Bandong anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama Daeng Matenne. Dari perkawinannya itu lahirlah Amirullah.
Arumpone Singkeru’ Rukka menjadi Mangkau’ di Bone dari tahun 1860 sampai tahun 1871. Kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Fatimah Banri. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing, sehingga dinamakan MatinroE ri Topaccing.




RAJA BONE 30
Fatimah Banri [We Banri Gau] (1871–1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta.
Dalam tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Sutera Arung Apala.
Setelah Arumpone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri memberikan kepada suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arumpone We Banri Gau meninggal dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo untuk menggantikan isterinya sebagai Arumpone.Untuk itu ia mendekati Hadat Tujuh Bone agar dirinya dapat diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan isterinya Fatimah Banri atau We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na.
Akan tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi Tomarilaleng ri Bone. Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika isterinya masih hidup telah banyak melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh orang Bone. Karaeng Popo bersama Jowana (pengawalnya) sering melakukan tindakan keras yang membuat rakyat kecil menderita.
Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk mengangkat anak Fatinah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone Arung Apala menjadi Mangkau’ di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau Bone baru berusia 13 tahun.
Akan tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan segenap orang Bone belum disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Braan Manrits. Alasannya ada kekhawatiran Bone dengan Gowa akan bersatu melawan Kompeni Belanda. Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda sendiri yang langsung masuk ke Bone. Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni Belanda Tuan Braan Manrits dengan Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat menjadi Mangkau’ ri Bone adalah saudara MatinroE ri Bolampare’na sendiri yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri.
RAJA BONE 31
La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895–1905)
La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu memerangi Turate.
Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.
Setelah selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan.
Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden ster voor traun en verdienste.
Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M.
Pada tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone.
Pada tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.
Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904 M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone.
Karena permintaan Kompeni Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M. Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo.
Adapun Panglima Perang Arumpone , ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M. dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta.
Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa.
Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.
Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident.
Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai.
Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A.
Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ;
1.    Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa.
2.   Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur.
3.   Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur.
4.   Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur.
5.   Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.
Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah pengaruh Bone. Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua Bulete, ketiga Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete, ketujuh Paselloreng.
Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda.
Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE.
Yang pertama – tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone.
Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit.
Ketika Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi, maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone. Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone.
Adapun La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.
Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.
Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang).
Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.
Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa.
Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana.
Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La Sitambolo.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di Bone.

RAJA BONE 32
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa (1931–1946)
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa yang juga dikernal dengan nama Datu Silaja. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M, ketika I Makkulawu Karaeng Lembang Parang KaraengE ri Gowa berperang dengan Kompeni Belanda. Setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi dan diasingkan ke Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Padahal antara La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu kali. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu ayahnya.
Adapun sebabnya Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya. Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di Suppa.
Perang Gowa berakhir dengan gugurnya KaraengE ri Gowa dan putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu KaraengE ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.
La Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di Bone.
Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata.
Pada hari Kemis tanggal 12 April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi Mangkau’ di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.
Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege.
Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.
Pada tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun 1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menyerah.
Pada masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.
Karena Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam tahun 1944 M. Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.
Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.
Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki.
Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.
La Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.
Anak La Mappanyukki dengan isterinya yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari, adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu ;
1.    Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.
2.   Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.
3.   Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watassoppeng.
Hal yang demikian, merupakan realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone baru dengan ibu kotanya Watampone.
Pada waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.
RAJA BONE 33
La Pabbenteng Petta Lawa (1946–1951)
Silsilah
La Pabbenteng adalah anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid, Petta Ponggawa Bone yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong. Sedangkan Baso Pagilingi Ponggawa Bone adalah anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta, Arumpone ke 31.
Masa Pemerintahan
La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta.
Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota Ade’ Pitu-E Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa.
Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah diangkat menjadi Mangkau’ Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel Tituler.
Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng. Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari pengasingannya.
Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyataannya yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat La Pabbenteng menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga.
La Pabbenteng kawin di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng Addatuang Sawitto dari ayahnya.
Arumpone La Pabbenteng kemudian diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi. Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di Celebes Selatan.
Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA.
Dalam tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone, semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.

Itulah silsilah raja-raja dari kerajaan Bone pada waktu dulu, semoga artikel ini dapat bermanfaat baginkita semua. Amin

Sumber :
www.google.com